Monday, July 2, 2007

Konwil

Konwil Ke-19 PII Kalsel
Abdul Hadi

Dinamisasi sebuah organisasi merupakan wujud nyata demi terciptanya mekanisme kerja yang sistematis dan memberikan ruang gerak yang kompetetif di setiap eselon struktur kepengurusan dalam membangun suasana yang kreatif dan inovatif. Landasan ini didasari oleh semakin melemahnya dinamika organisasi yang menuntut kita untuk mencari format lain dalam menyikapi kemandekan wacana dan informasi. Sementara itu, kompleksitas persoalan sosial yang menjadi bidang garap PII berkembang pesat mengikuti arus perubahan yang terjadi. Hal ini menuntut kita untuk terus menerus melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dalam mekanisme gerakan, sehingga dapat mengikuti dinamika perubahan, yang akhirnya dapat memberikan ‘pelayanan’ yang terbaik pada ummat, khususnya bidang garap PII yaitu pelajar.

Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Kalimantan Selatan sebagai wadah organisasi Pelajar di bumi Lambung Mangkurat selama dua tahun terakhir ini terus melakukan gerakan-gerakan guna meresponi kondisi yang terjadi serta mencoba membuat terobosan-terobosan yang diharapkan mampu membuat perubahan-perubahan di tengah masyarakat menuju sebuah perubahan social dan budaya bahkan menuju sebuah revolusi peradaban.

Merujuk pada pemikiran-pemikiran di atas serta sesuai aturan main yang dimiliki oleh Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Kalimantan Selatan maka forum Konferensi Wilayah ke-19 PII Kalsel sudah menjadi kebutuhan dan keharusan untuk dilaksanakan yang diharapkan mampu terus mengevaluasi kinerja gerakan secara wilayah dan selanjutnya melakukan penyempurnaan dan penajaman gerakannya.

Konferensi Wilayah ke-19 Pelajar Islam Indonesia (PII) Kalimantan Selatan yang merupakan forum tertinggi di institusi wilayah pada kali ini mengambil tema "Optimalisasi Peran Pelajar Sebagai Subjek Revolusi Peradaban". Diharapkan dari Konwil ke-19 PII Kalsel ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran serta terobosan terobosan baru yang dapat memformat kembali gerakan PII ke depan khususnya di wilayah Kalimantan Selatan sehingga PII sebagai organisais pelajar dapat meningkatkan perannya dalam "melayani" kebutuhan pelajar pada khususnya dan umat Islam pada umumnya.

Kami dari panitia pelaksana Konferensi Wilayah ke-19 Pelajar Islam Indonesia (PII) Kalimantan Selatan mengharapkan kepada seluruh aktivis PII Kalimantan Selatan agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut yang Insyaallah akan dilaksanakan pada tanggal 4-6 April di kota Marabahan, Barito Kuala. Kami juga mengundang kepada seluruh aktivis PII dan Keluarga Besar PII Kalimantan Selatan agar dapat berhadir pada acara pembukaan Konwil Ke-19 PII Kalsel pada tanggal 4 April 2003, pukul 16.00 di Aula Selidah Marabahan. Untuk informasi Konwil dapat menghubungi Sekretariat Panitia: Jl Bumi Mas No 131 Banjarmasin Telp (0511) 273827.

Terakhir, kami dari panitia pelaksana memohon kepada seluruh kaum Muslimin dan Muslimat agar memberikan do’a restu kepada kami,mudah-mudahan apa yang kami lakukan dapat bermanfaat bagi kemajuan Islam demi tegaknya Izzul Islam wal Muslimin. Amien Yaa Rabbal ‘Alamien.

Abdul Hadi
Ketua PII

Selengkapnya......

Harba PII (8)

"Negara Gagal, Masyarakat Harus Bangkit "
Suara Merdeka

SEMARANG- Masyarakat Indonesia harus bangkit menolong diri sendiri. Negara tidak lagi bisa diharapkan untuk menyejahterakan rakyatnya, karena beban yang terlalu besar.

''Negara kita makin lumpuh akibat terlalu banyak beban. Tanpa formula penyelesaian yang tepat, dalam beberapa tahun ke depan kita akan kolaps. Indonesia akan terhindar dari kehancuran kalau masyarakat mampu bangkit untuk menolong diri sendiri,'' kata pakar pemerintahan Prof Dr M Ryaas Rasyid MA di Semarang, Sabtu (3/2) malam.

Dia berbicara selaku ketua umum Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (Perhimpunan KB PII) Pusat di depan peserta Muswil III Perhimpunan KB PII Jateng di Hotel New Metro. Dikatakan, beban negara di saat krisis sekarang menjadi terlalu besar karena selama ini sektor negara terlalu dominan.

''Semua tergantung pada negara, masyarakat tidak punya inisiatif, sehingga negara makin lumpuh ketika banyak masalah yang harus diselesaikan,'' kata mantan Menteri Negara Otonomi Daerah itu.

Ketua Asosiasi Ilmu Pemerintahan Indonesia (AIPI) itu menyebutkan ciri-ciri negara yang mendekati kegagalan.

Yaitu kekayaan sumber daya (resources) yang tidak terkelola dengan baik, program-program pemerintah yang salah sasaran, dan birokrasi yang terlalu gemuk sehingga tidak lincah bergerak untuk mengatasi masalah.

Problem terbesar Indonesia dalam jangka pendek, lanjutnya, adalah besarnya jumlah rakyat miskin yang mencapai 100,6 juta jiwa atau hampir separo dari jumlah penduduk.

Lalu, jumlah penganggur mencapai 20 juta. Sementara kebijakan negara bergerak seperti tanpa arah, investasi rendah, dan sektor manufaktur mandek.

Beban negara menjadi semakin berat dengan fakta tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Indonesia (60 persen) yang hanya tamat SD.

Akibatnya Indonesia sudah mulai tertinggal dengan Malaysia dan Filipina.

Untuk mengatasinya, katanya, selain diperlukan formula solusi yang tepat dan ''revolusi'' di bidang pendidikan, masyarakat juga harus mampu memobilisasikan dirinya agar bangkit.

Hasil Muswil

Ia meminta para anggota ormas yang dipimpinnya ikut mendorong kebangkitan masyarakat dan tetap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Muswil yang sekaligus reuni para mantan aktivis PII itu berlangsung dua hari, 3-4 Februari. Pada sidang pemilihan Minggu pagi kemarin, para utusan pengurus cabang se-Jateng secara aklamasi memilih H Ahmad Zaini Bisri SE sebagai ketua umum/ketua formatur Pengurus Wilayah Perhimpunan KB PII Jateng periode 2007-2010.

Wartawan Suara Merdeka itu menggantikan ketua lama Drs H Achmadi yang menolak untuk dicalonkan kembali.

Dalam tahap pencalonan sebenarnya muncul dua nama kandidat. Calon lain adalah Drs H Ahmad Fadlil Sumadi SH MHum. Namun pejabat di Mahkamah Konstitusi (MK) ini selain tidak berdomisili di Semarang, juga hanya diusulkan oleh satu cabang sehingga dinyatakan gugur.

Dalam pidatonya, Zaini Bisri mengajak jajaran KB PII Jateng agar berperan sebagai perekat umat Islam. Para eks aktivis PII, katanya, harus berdiri di tengah dan bergerak netral di antara kelompok-kelompok umat Islam. (H7,A11-60)

Selengkapnya......

PII

Miftah, ”PII tidak Buka Mulut”
Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).-Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PKB PII) Jabar sebaiknya tetap konsisten melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar di segala bidang. Karena dakwah amar makruf nahi mungkar merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan sekarang ini ada kecenderungan sebagian Muslim tidak melaksanakannya secara baik.

Demikian dikemukakan penasihat PKB PII Jabar Dr. K.H. Miftah Faridl dalam acara silaturahmi Idulfitri PKB PII Jabar, di Masjid Al Ihsan Darul Hikam, Jln. Ir. H. Juanda Bandung, Sabtu (28/12).


K.H. Miftah Faridl mengatakan sejak didirikannya pada 48 tahun silam, para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dikenal militan dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar, baik ketika menghadapi rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Tatkala Orde Lama, PII menjadi bulan-bulanan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di kala masa Orde Baru, PII dibubarkan karena menolak asas tunggal Pancasila.

"Tetapi, anehnya pada zaman reformasi, ketika orang lain mulai berani buka mulut, ternyata PII tidak buka mulut," ujar K.H. Miftah Faridl.

Dikemukakannya, bila upaya amar makruf nahi mungkar sudah berakhir atau dianggap tidak layak dilakukan, itu bermakna dunia sudah berakhir. Maksudnya, dunia ini sudah kiamat, sedangkan kemungkaran akan ada sepanjang kehidupan jagat raya ini.

Seraya mengutip firman Allah SWT dan sabda Rasulullaah SAW, K.H. Miftah Faridl mengatakan umat Islam itu akan mendapat status khairu ummah atau umat terbaik apabila mampu memelihara budaya amar makruf nahi mungkar. Demikian halnya sabda Rasulullah menyatakan manusia terbaik di mata Allah adalah manusia yang paling banyak melakukan silaturahmi dan manusia yang istiqomah dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.

Pada bagian akhir ceramah tausiah-nya, K.H. Miftah Faridl mengatakan dalam alam reformasi sekarang ini, kondisi belum berubah ke arah yang lebih baik. Bahkan, dalam beberapa sektor kehidupan, kondisi lebih buruk dibandingkan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Oleh karena itu, sebagai Muslim yang pernah terlatih dalam organisasi dan budaya militan PII, hendaknya tidak pernah surut dalam perjuangan menegakkan amar makruf nahi mungkar sesuai posisi dan kapasitas masing-masing.

Mediator-katalisator

Sementara itu, salah seorang pengurus PKB PII Jabar Ir. H.D. Sodik Mudjahid, M.Sc., mengatakan PKB PII Jabar hendaknya segera menetapkan fokus garapannya serta perannya secara baik. Untuk itulah PKB PII Jabar perlu menjadi mediator dan katalisator berbagai kekuatan, terutama di bidang politik. Karena, hal itu didasarkan pada kenyataan banyaknya sebaran aktivis PII yang kini menjadi tokoh dan kader di berbagai parpol.

"Dengan begitu, diharapkan keberadaan mereka di parpol dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi umat dan bangsa Indonesia demi izzul Islam wal Muslimin," tuturnya.

Selain itu, PKB PII Jabar perlu tetap bersikap konsisten melaksanakan pendidikan dan pengkaderan dalam meningkatkan mutu SDM, caranya ialah melalui berbagai bidang dan bentuk kegiatan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan historis misi awal PII serta faktor strategis bidang sumber daya manusia (SDM), seperti banyaknya kader PII yang mengelola lembaga pendidikan.

"PKB PII Jabar perlu membentuk semacam komite penegak amar makruf nahi mungkar yang melakukan pemantauan dan aksi pencegahan tindakan mungkar baik yang terjadi di eksekutif, legislatif maupun di tengah masyarakat," tutur Sodik Mudjahid. (A-44)**

Selengkapnya......

harba PII (7)

Kepemimpinan & Manajemen IPDN Harus Segera Dibenahi
Tim Independen Serahkan Rekomendasi ke Presiden Senin Ini
Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).-Rekomendasi tim independen untuk Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dijadwalkan akan diserahkan ke Presiden RI, Senin (21/5) ini. Berdasarkan hasil evaluasi, tim merekomendasikan tiga hal fundamental yang perlu dibenahi dalam penyelenggaraan pendidikan di IPDN, yaitu kepemimpinan, manajemen, dan sistem pendidikan.

”Kami dijadwalkan bertemu presiden besok (21/5), untuk menyampaikan rekomendasi tersebut,” kata Ketua Tim Independen untuk IPDN, Ryaas Rasyid, usai mengikuti acara peringatan Hari Bangkit (Harba) Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) ke-60, di gedung Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam (PPPG IPA), Jln. Diponegoro, Minggu (20/5).

Mengenai isi rekomendasi tim independen yang tebalnya mencapai 70 halaman tersebut, Ryaas tidak banyak berkomentar.

Namun, kata dia, tim independen tidak menyarankan pembubaran IPDN. ”Tidak ada usul yang mengarah kepada pembubaran IPDN,” ucapnya.

Ryaas mengaku tidak akan berkomentar panjang lebar soal isi rekomendasi sebelum rekomendasi tersebut disampaikan kepada presiden. ”Secara prinsip, saya tidak bisa kasih tahu sebelum presiden menerimanya. Masa, orang lain tahu lebih dulu dari Beliau. Yang pasti, kami memberi waktu dua tahun untuk mengaplikasikan rekomendasi tersebut,” ujarnya.

Meski begitu, Ryaas menyebutkan tiga hal fundamental yang perlu dibenahi di IPDN. Ketiga hal itu, lanjut dia, memiliki keterkaitan satu sama lain. ”Semua peristiwa di IPDN terjadi karena adanya kegagalan kepemimpinan, manajemen, dan sistem pendidikan,” katanya.

Tidak akan terulang

Bila semua rekomendasi yang diberikan tim independen dilaksanakan, Ryaas menjamin peristiwa kekerasan, apalagi hingga menelan korban jiwa, tidak akan terulang lagi di IPDN.

Perubahan sistem kepemimpinan di IPDN juga akan berpengaruh kepada pejabatnya, yang nanti akan diputuskan presiden.

Selama melakukan analisis lembaga IPDN, Ryaas mengaku tidak mendapat banyak kesulitan, sehingga waktu satu bulan dinilai telah cukup untuk menghimpun semua informasi yang dibutuhkan.

”Awalnya mereka memang sedikit bungkam. Tapi menjadi terbuka, setelah mereka menyikapi kejadian kemarin (kasus kematian praja Cliff Muntu - red) sebagai yang terakhir kali terjadi, dan mereka tidak lagi menoleransi kesalahan,” ujarnya.

Mengenai kabar, posisi dosen IPDN Inu Kencana akan ditingkatkan, menurut Ryaas, masalah itu tidak menjadi urusan tim. ”Itu diatur oleh intern mereka, tim independen tidak mencakup soal itu.”

Begitu pun soal pelaksanaan sensus mahasiswa yang dilakukan jajaran IPDN pekan lalu, Ryaas menegaskan, hal tersebut bukan bagian dari tugas tim independen. ”Itu hanya tugas internal sehari-hari saja untuk mengetahui berapa persisnya jumlah mahasiswa yang tinggal,” kata Ryaas. (A-158)***

Selengkapnya......

Harba PII (6)

Pilkada Langsung Lompatan Demokrasi
Suara Merdeka

JEPARA- Bangsa Indonesia sudah sepakat untuk menempuh pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sejak Juni 2005. Pilihan ini hendaknya disikapi secara konsisten, jangan mau kembali ke model pemilihan lama oleh parlemen, karena langkah tersebut merupakan lompatan demokrasi.

''Di negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis pun, pemilihan langsung oleh rakyat masih merupakan cita-cita,'' kata Sekretaris Umum Pengurus Wilayah Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (Perhimpunan KB PII) Jateng, H Ahmad Zaini Bisri SE di Jepara, Rabu (31/5).


Hadir Asisten I Sekda Drs Poniman, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Heri Purwanto yang juga tokoh KB PII Jepara, anggota PII dan KB PII, sejumlah kepala SMP dan SMA, serta perwakilan OSIS.

Dijadikan Evaluasi

Berbicara dalam acara Peringatan Hari Bangkit (Harba) Ke-59 PII di Cafe Madani Kalinyamatan, Zaini Bisri yang juga wakil ketua Mapilu-PWI Jateng mengatakan, kalaupun ada kekurangan dengan pelaksanaan pilkada langsung hendaknya dijadikan evaluasi untuk perbaikan.

''Sejauh ini ada dua kelemahan pokok pilkada langsung, yaitu munculnya kapitalisasi dan jaminan kualitas kepala daerah terpilih,'' kata mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Diponegoro ini.

Biaya pilkada yang mahal, katanya, ternyata tidak selalu menjamin kualitas kepala daerah yang terpilih. Ia mencontohkan gonjang-ganjing Pilkada Kabupaten Pekalongan, calon yang menang ternyata masih menghadapi ujian moral terkait foto-foto porno.

Zaini selanjutnya berpesan kepada seluruh anggota KB PII di Jepara untuk ikut mengkondisikan Pilkada Jepara yang fair, aman, damai, dan berkualitas. Anggota PII juga diingatkan agar jangan eksklusif, melainkan pluralis, sehingga mampu berperan dalam pembinaan masyarakat pelajar.

Bupati Hendro Martojo meminta anggota PII dan KB PII untuk mengambil peran strategis dalam pembangunan Jepara. ''Banyak bidang yang memerlukan partisipasi masyarakat, karena itu saya berharap agar anggota PII dan KB PII ikut berperan dalam pembangunan daerah Jepara,'' katanya dalam sambutan yang dibacakan Asisten I Sekda Drs Poniman. (A14-29)

Selengkapnya......

harba PII (5)

Indonesia Jangan Jadi Kuli Bangsa-Bangsa Di Dunia
klik ini

Banjarmasin ( Berita ) : Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII), A.Hakam Naja mengingatkan semua elemen dan komponen bangsanya agar jangan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa dunia.

“Untuk itu sejak dini kita harus menyiapkan generasi bangsa kita mendatang agar lebih berkualitas serta bisa kompetitif pada masa mendatang,” ujarnya pada Hari Bangkit (Harba) ke-60 PII Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan 2007 di Banjarmasin, Minggu [14/05] malam.


Perasiapan generasi bangsa dimaksud antara lain dengan terus berupaya meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dari tingkat dasar hingga lanjutan sampai perguruan tinggi.

Hakam yang juga Wakil Ketua Komisi X DPR-RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) itu mengaku miris melihat perkembangan dan kepedulian bangsa-bangsa lain dalam hal pendidikan pada kurun waktu beberapa tahun belakangan ini.

“Sebagai contoh kalau dulu Malaysia banyak mengirim orang untuk studi di Indonesia, seperti di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, tapi kini terbalik yaitu kita yang berguru ke negeri jiran tersebut,” ungkapnya.

Dalam contoh tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR yang juga membidangi pendidikan itu mengungkap perbandingan angka-angka, seperti di Universitas Al Azhar Kairo Mesir, warga negara Indonesia (WNI) yang studi tercatat 2.500 orang, sementara Malaysia 5.000 orang.

“Warga Malaysia yang studi di negeri ‘piramit’ itu semuanya atas biaya pemerintah negara mereka, tapi bagaimana Indonesia,” lanjut salah seorang Ketua Pengurus Pusat Keluarga Besar PII tersebut dengan nada menyindir.

Begitu pula WNI yang studi di Amerika Serikat (USA) tercatat 17.000 orang, sedangkan dari negeri jiran Malaysia yang menimba ilmu di negeri “Paman Syam” itu tercatat 50.000 orang.

“Oleh sebab itu, ke depan harus lebih serius menyiapkan SDM generasi bangsa untuk menghadapi persaingan bangsa-bangsa internasional. Karenanya insya Allah secara bertahap kita kirim pelajar studi keluar negeri dengan jumlah besar,” tandasnya.

“Karena sekarang saja Indonesia sudah kemasukan tenaga ahli dari asing, seperti bidang kedokteran dan ilmu-ilmu sosial lainnya,” demikian Hakam.

Memberikan sambutan Sekda Kalsel, Drs.H.Muchlis Gafuri serta Walikota Banjarmasin, H.A. Yudhi Wahyuni yang pada pokoknya menekankan arti pentingnya pendidikan bagi generasi muda bangsa.

Oleh karena itu, kedua petinggi Kalsel dan Banjarmasin tersebut minta PII untuk senantiasa konsiten dalam menimba ilmu guna peningkatan mutu SDM ke depan yang pernuh dengan berbagai tantangan.

Harba ke-60 PII Kalsel yang berlangsung di Aula Kayuh Baimbai Pemko Banjarmasin itu, juga mendapat hiburan kesenian daerah Madihin oleh pasang Jumairi dan M.Said Adani (ayah dan anak) juara I festival Madihin se provinsi tersebut tahun 2006.

Lantunan syair madihin dari Said yang baru selesai kelasa VI sekolah dasar itu membuat gelak tawa pengunjung, termasuk tamu dari Ibukota Negara Jakarta. ( ant )

Selengkapnya......

Harba PII (4)

PII Tetap Netral
Taufiqur Rahman

Alhamdulillah, Pelajar Islam Indonesia (PII) telah merayakan hari bangkit (harba)-nya yang ke-58 pada 4 Mei 2005 lalu. Ini merupakan momentum untuk menentukan tolak ukur perjuangan PII yang selalu eksis dan memberikan kontribusi positif dalam ranah pendidikan dan kebudayaan. Orientasi perjuangan PII sejak dicanangkan dalam mencetak generasi yang mampu berkompetisi di segala lini, perlu dipertahankan dari virus kepentingan.

Di balik keberadaan organisasi ini, mesti ada prinsip yang ditanamkan kepada seluruh kader agar pada suatu saat nanti menempati posisi sterategis di segala aspek kehidupan. Alumni PII, harus mengaplikasikan nilai perjuangan dengan tetap memegang teguh idealismenya seperti pada saat menjadi aktivis PII. Bukan sebaliknya menggadaikan idealisme demi kepentingan sesaat.

Kebanggaan sebagai seorang kader terkadang menyeruak ke permukaan sehingga secara bombastis memanfaatkan peluang untuk merayakannya. Indikasi ini yang kami tengarai dalam menanggapi ucapan selamat oleh pasangan calon gubernur dan calon walikota (Ismet Ahmad - Habib Aboe Bakar Al-Habsy; Yudhi Wahyuni - Alwi Sahlan; Sabri Noor Herman - Amanul Yakin; Edwan Nizar - Suripno Sumas) selama dua hari (BPost, 4 dan 5 Mei).

Ucapan selamat yang mereka berikan, kami rasa bukan klaim untuk menegaskan PII beserta alumni dan kadernya wajib mendukung. Kami sangat bangga dan berterima kasih kepada mereka atas respon positif terhadap perayaan Harba PII tahun ini. Semoga ini adalah bukti komitmen mereka sebagai keluarga besar PII untuk sama-sama mewujudkan kemajuan pendidikan dan kebudayaan. Sebagaimana termaktub dalam falsafah gerakan PII, yaitu kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi rakyat Indonesia dan seluruh manusia.

Namun, PII sebagai organisasi yang mengemban misi membentuk kader yang siap duduk di berbagai posisi strategis di struktur bangsa ini, tetap akan bersikap independen dan netral terhadap prosesi politik yang berjalan. PII akan tetap konsisten untuk mengandung dan melahirkan putra-putri terbaik untuk terjun di segala lini kehidupan. Selamat Hari Bangkit ke-58 PII.

Taufiqur Rahman
Kadid DPMP PW PII Kalsel
Jl PHM Noor Gg Manggis RT 06/II Barabai

Selengkapnya......

Brigade PII

Belajar Berdemokrasi
Oleh HASAN SYUKUR

ADA sebuah cerita menarik. Konon, keberhasilan Indonesia dalam menyelesaikan masalah GAM di Helsinki karena Jusuf Kalla, Wapres RI yang memimpin delegasi Indonesia, menggunakan pendekatan PII. Boleh jadi cerita ini benar. Jusuf Kalla adalah bekas aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) Sulawesi Selatan yang kini menjadi Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Keluarga Besar PII. Di lain pihak, Hasan Mohammad Tiro dan para petinggi GAM lainnya, adalah bekas aktivis PII Aceh.

Dengan pendekatan itu akhirnya delegasi Indonesia bisa ”menjinakkan” gerakan separatis itu. GAM menerima solusi perdamaian. Kamis (27/4) para petinggi GAM bertamu ke Istana Wapres. Mereka menyatakan, secara alami GAM akan membubarkan diri.

Prestasi monumental ini tidak lepas dari visi dan misi organisasi pelajar ini. Dalam perjalanannya, PII memang selalu seiring dengan perjalanan sejarah perjuangan bangsa. PII bersama-sama unsur dan kekuatan bangsa Indonesia lainnya selalu berdiri di garis terdepan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak awal, organisasi ini memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap agama, bangsa dan negara serta keyakinannya akan kebenaran Islam dalam menciptakan masyarakat adil, sejahtera tenteram dan damai yang diridai Allah SWT. (baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur).

Untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa misalnya, pada awal kebangkitannya mendirikan ”Brigade PII”. Dalam resepsi Harba PII ke-1 tanggal 4 Mei 1948, Panglima Besar Jenderal Soedirman hadir dan memberikan sambutan, ”Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang diberikan oleh PII kepada negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII, negara kita adalah negara baru, di dalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia,” katanya.

Dalam menghadapi pemberontakan Gestapu/PKI tahun 1965 bersama ABRI dan kekuatan lainnya merupakan kekuatan utama dalam menumpas pemberontakan tersebut. PII menjadi pelopor dan kekuatan utama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Dalam pengembangan wawasan dan intelektual, PII organisasi pelajar pertama yang menjalin kerja sama tukar- menukar pelajar dengan Amerika Serikat melalui American Field Service (AFS). Alumninya, antara lain Z.A. Maulani, Taufiq Ismail, Dawam Rahardjo, Arief Rahman, Tanri Abeng, dan Sugeng Sarjadi.

Kamis 4 Mei organisasi ini genap berusia 59 tahun. Peringatan berdirinya PII biasa disebut Hari Bangkit (Harba). Tak ada upacara seremonial. Biasanya cukup mengucapkan rasa syukur diiringi dengan doa, agar kiprah PII di masa depan lebih bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Upacara memperingati ulang tahun dengan pesta bukan tradisi PII. Landasan berdirinya organisasi yang mempersatukan santri di pondok-pondok pesantren dan sekolah umum itu adalah Q.S. Ali Imron :104 : ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang munkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sejak organisasi pelajar ini didirikan di Yogyakarta 4 Mei 1947 sampai kini sudah banyak kader yang dihasilkan oleh PII. Mereka tersebar di berbagai lini di kota-kota sampai ke desa-desa di seluruh Indonesia, berperan sebagai perekat umat. Ada K.H. Hasyim Mujadi, Ketua PB NU, ada Prof. Dr. Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, ada Jusuf Kalla, Ketua DPP Golkar dan Wapres RI, ada Dr. Hidayat Nurwahid bekas Presiden PKS dan kini Ketua MPR RI, ada Moh. Husni Thamrin, Wakil Ketua DPR RI, ada Taufiq Ismail, penyair, ada Dahlan Iskan ”raja Koran” Grup Jawa Pos. Di Kabinet Indonesia Bersatu tercatat sedikitnya 9 menteri, antara lain, Sudi Silalahi, Sofyan Djalil dan Maftuh Basyuni, plus Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Mereka berperan aktif dalam pembangunan umat Islam dan bangsa Indonesia. Agar peran mereka dapat meningkat dan lebih efektif serta berdaya guna, kini mereka dihimpun dalam Perhimpunan Keluarga Besar PII. ( Perhimpunan KB PII) pada 23 Mei 1998 di Jakarta. Perhimpunan ini berakidah Islam dan berasas Pancasila. Dengan tujuan tercapainya kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia.

Ketua perhimpunan pertama, terpilih Letjen Z.A. Maulani bekas Ketua Pangdam Tanjungpura dan Kepala Badan Kontak Intelijen Negara (Kabakin) pada periode Presiden B.J. Habibie. Beliau memimpin organisasi ini dua periode, sampai wafatnya beberapa bulan lalu. Kini Perhimpunan KB PII dipimpin oleh Prof. Dr. Ryaas Rashid, bekas Menteri Otda. Ryaas mantan Ketua PII Cabang Bone, Sulawesi Selatan.

Nama PII tidak bisa lepas dari sosok Mohammad Joesdi Ghazali. Dialah orang yang mendapatkan ide lahirnya organisasi pelajar ini. Ceritanya, 25 Februari 1947, di tengah malam yang sunyi, ia bersujud di Masjid Kauman, Yogyakarta. Dalam benaknya sedang menggagas untuk membuat sebuah organisasi yang menampung kegiatan pelajar muslim. Tapi tidak tahu harus dengan nama apa. Maka, pada saat tahajud itulah ia mendapatkan nama ”Pelajar Islam Indonesia”.

Agama dan negara menjadi bagian latar belakang berdirinya PII. Perdebatan politik tentang dasar negara sedang menjadi isu sentral pada waktu itu. Agama dipahami oleh mayoritas masyarakat bagian yang terpisah dari negara (sekularisme). Alam pemikiran dikotomis yang memisahkan antara keduniaan dan dan keakhiratan ini adalah warisan penjajah Belanda. Alam pemikiran sekularis ini diwariskan kepada bangsa Indonesia, karena bagi penjajah sekularisasi itu sangat menguntungkan.

Yang menjadi keprihatinan Joesdi adalah warisan pola pikir sekuler itu telah membias pada masyarakat pelajar. Sehingga antara pelajar sekolah umum dan pelajar santri (pondok pesantren) saling berolok. Dengan demikian, bagaimana umat Islam akan menang untuk dapat membangun bangsa dan negara kalau sejak masa pelajarnya saja sudah terpecah belah, pikirnya.

Joesdi menginginkan agama dan negara bukan sesuatu yang terpisah. Karena itu dikembangkan pemikiran, bahwa ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan keduniaan itu adalah satu. Dari pemikiran itu, diharapkan PII akan dapat melahirkan kader intelek yang kiai dan kiai yang intelek. Joesdi mengembangkan pemikiran yang integral sebagaimana yang populer sekarang penguasaan imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi). Di samping itu pada waktu itu sudah berkembang pemikiran yang khilafiah. Joesdi berusaha mengeliminasinya. Ternyata pemikiran ini diterima berbagai pihak. Dengan demikian PII merupakan organisasi lintas aliran dan pemahaman yang independen.

Entah sudah berapa juta anak bangsa ini yang telah tersentuh oleh PII. Secara kuantitatif memang tidak ada data yang pasti. Tapi dilihat dari penyebarannya yang merata ke seluruh penjuru tanah air, PII telah menyumbangkan kader-kadernya kepada bangsa dan negara. Produktivitas kader itu dimungkinkan oleh berbagai training mulai Mapratta (Masa Pra Penerimaan Anggota), leadership training, Student Work Camp (Perkampungan Kerja Pelajar), Mental Training (Mentra) dan Leadership Advance Training.

Training-training ini merupakan wahana demokrasi, dimana setiap peserta dirangsang untuk mengekspresikan dirinya, dalam topik-topik diskusi, berani berpendapat, tapi juga siap menghargai perbedaan pendapat. Itulah hakikat demokrasi Inilah jantung kehidupan PII. Jasa terbesar PII adalah memperkenalkan anak umat akan perjuangan dan pengabdian pada agama dan bangsa. Dalam berbangsa, Islam tidak bisa dikedepankan hanya dengan ideologi dan simbol-simbol. Sejatinya agama adalah membangun peradaban manusia di muka bumi. Inilah kuncinya, kenapa kader PII ada di mana-mana. Pantang putus tali silaturahmi meski berbeda pendapat. Barangkali inilah makna Hadis Nabi, ”Pebedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat.” Joesdi telah memulainya sejak 59 tahun silam.

Kini santri yang menamatkan kuliah di Harvard University Amerika Serikat itu tidak menyaksikan lagi hasil gagasannya. Menjelang usia PII tepat setengah abad (Hari Bangkit -Harba- ke-50), beliau meninggalkan kita, tepatnya 11 Maret 1997. Selamat Hari Bangkit PII ! Semoga perananmu tetap menjadi kader-kader bangsa yang rahmatan lil alamin, subjek dinamis yang mampu mengarahkan arah tujuan bangsa menuju terwujudnya masyarakat baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur.***

Penulis, wartawan senior, Ketua Kajian Sosial Politik Perhimpunan KB PII Jawa Barat.

Selengkapnya......

Harba PII (3)

PII Peringati Harba ke-60
Hasil Liputan

Tanggal 4 Mei 1947 menjadi tonggak sejarah lahirnya sebuh organisasi bernama Pelajar Islam Indonesia (PII). Terdorong oleh dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia, PII berjuang dan menghasilkan sejumlah kader yang visioner seperti Prof Ryas Rasyid.

Tahun ini, 60 tahun kemudian, Hari Bangkit (Harba) PII diperingati secara di Kota Bandung, Ahad (20/5). Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh bidang pendidikan, politik, sosial dan anggota pengurus wilayah Perhimpunan Keluarga Besar PII.

''Acara ini bertemakan pacu karya, raih prestasi, jadi pelajar unggul bersama PII,'' ujar Ketua PW Perhimpunan KB-PII, Oma Wihardja Mansyuri. Melalui tema ini, kata dia, PII ingin berpesan bahwa sebagai Muslim, kita wajib berkarya dan bekerja keras untuk meraih prestasi.

elajar dan bekerja, kata Oma, merupakan kewajiban bukan tujuan. Selain itu, belajar dan bekerja adalah aktualisasi keimanan dalam bentuk amal shaleh.

Para pendiri PII, sambung Oma, merupakan orang-orang yang visioner. Karenanya ia yakin anggota PII mempunyai jiwa dan semangat yang sama.

Selain mengadakan seremoni peringatan, dalam kaitan Harba juga akan diadakan lokakarya dakwah Islam berbasis budaya Sunda. Kegiatan ini baru sebatas pembekalan kepada dai dari berbagai kalangan untuk mengenal bilai-nilai yang ada dalam budaya Sunda. Dengan demikian, akan memudahkan dai dalam menunaikan tugasnya berdakwah, begitupun dalam pendidikan. ( ren )

Sumber Republika

Selengkapnya......

Wajah Islam

Umat Islam di Indonesia Saat Ini
oleh Ramlan Mahmud*

Pada masa Orde Baru (Orba), perkembangan umat Islam di Indonesia kurang begitu menggembirakan dikarenakan tekanan dari penguasa yang menghalangi laju pergerakan dan kebangkitan umat Islam. Setelah rezim Orba jatuh (Reformasi 1998), umat Islam lebih bebas untuk bergerak dalam berbagai hal, terutama politik. Terbukti dengan bermunculannya berbagai partai politik yang membawa nama Islam. Namun pemasalahan umat Islam tidak berhenti begitu saja. Berbagai isu yang berkembang di kalangan umat Islam tidak jarang membawa perpecahan antar saudara seakidah.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Umat Islam yang menjadi bagian terbesar masyarakat Indonesia pun tidak terlepas dari kemajemukan. Berbagai golongan dan madzhab berkembang dalam tubuh umat Islam Indonesia. Golongan-golongan tersebut secara jelas tampak pada berbagai organisasi sosial, politik dan kemasyarakatan.


Baru-baru ini muncul istilah Islamfobia dalam kehidupan masyarakat, ketakutan terhadap Islam. Yang mengherankan, di beberapa kalangan umat Islam sendiri terjadi ketakutan akan adanya penerapan syariat Islam. Beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang belum lama ini ditetapkan, di antaranya mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat (Prov. Sumbar, Kab. Padang Pariaman), Pendidikan Al-Qur’an bagi Pelajar dan Calon Pengantin (Kab. Solok, Kota Padang, Prov. Sulsel, Kab. Maros,) Pemakaian Busana Muslimah (Kab. Solok, Kota Padang, Pasaman Barat, Kab. Gowa, Kab. Sinjai), Larangan Pelacuran (Kab. Gresik, Jember, Tangerang), Peredaran Minuman Keras (Gresik, Pamekasan); (Republika, 17/06/2006) membuat sebagian pihak menuding adanya upaya Islamisasi undang-undang dan peraturan. Harian Republika (17/5/2006) memberitakan protes yang dilakukan oleh salah satu anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang bernuansa Syariat Islam. Ia menilai perda-perda seperti itu inkonstitusional dan bertentangan dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal perda-perda tersebut tidak ada yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45 sebagai landasan Ideal dan landasan Konstitusional negara.

Jika ditelaah lebih lanjut adalah wajar jika misalnya umat Islam harus bisa membaca al-Qur’an dan memakai pakaian syar’i bagi Muslimah. Toh hal tersebut tidak akan diterapkan pada non-muslim. Indonesia adalah negara mayoritas Muslim yang paling toleran pada umat beragama lain. Muslim Indonesia tidak pernah mengusik kehidupan beragama non-Muslim. Salah satu contohnya adalah perayaan Nyepi di Bali, kaum Muslim di sana menghormati hari raya orang Hindu tersebut. Lantas mengapa upaya untuk menjalankan syariat Islam selalu ditentang habis-habisan?

Beberapa waktu lalu sebuah isu kontroversial yang dapat memicu perpecahan ramai diberitakan media massa. Dalam sebuah Dialog Lintas Agama dan Etnis di Purwakarta, Jawa Barat tanggal 23 Mei 2006 dihembuskan isu pengusiran Gus Dur dari acara tersebut. Isu tersebut dengan cepat menyebar di masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi yang berlebihan di beberapa daerah. Ada upaya adu domba antar umat Islam, dalam kasus ini secara spesifik antara massa Front Pembela Islam (FPI) dan massa pendukung Gus Dur. Padahal Gus Dur sendiri menyatakan tidak ada pengusiran dalam kasus Purwakarta tersebut. Sebelum acara Gus Dur mengatakan kepada panitia bahwa ia tidak akan mengikuti acara sampai habis, dan sudah menjalankannya (Kompas, 27/5/2006).

Dari beberapa contoh di atas dapat kita lihat adanya indikasi upaya adu domba dan melemahkan kekuatan umat Islam yang notabene adalah umat terbesar bangsa ini. Jika umat Islam saling berseteru antar kelompok maka akan ada pihak yang bertepuk tangan dan mengambil keuntungan demi kepentingan dan tujuannya sendiri. Pihak seperti inilah yang menghendaki perpecahan di tubuh umat Islam terus berjalan dengan menciptakan berbagai isu, seperti pembelokan berita dan menciptakan opini negatif tentang Islam pada masyarakat secara terus menerus.

Indikasi adanya konspirasi penghancuran dan melemahkan umat Islam di Indonesia ini datang dari dalam dan dari luar. Untuk itu umat Islam harus waspada dalam menghadapinya baik yang dari dalam dan dari luar. Kedua kemungkinan sama-sama kuatnya, bahkan bisa berjalan beriringan dan saling mendukung. Penghancuran Khilafah Islam di Turki tahun 1924 yang dijalankan oleh Mustafa Kemal Attaturk –yang notabene adalah muslim- dan menggantinya dengan negara sekuler adalah sebuah sejarah penghancuran umat Islam dari dalam yang mendapat sokongan Inggris dan Perancis. Hendaknya hal itu tidak akan terjadi di Indonesia.
Upaya menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sudah tampak jelas di Indonesia dengan jargon-jargon Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme. Berbagai penafsiran tentang ajaran Islam secara liar terjadi dan terbuka luas, bahkan sudah lama masuk pada kampus-kampus Islam seperti UIN, IAIN dan STAIN. Organisasi-organisasi yang mengasong jargon-jargon tersebut mendapatkan dana yang tidak sedikit dari pihak asing. Sangat naïf jika dikatakan bahwa penyandang dana tersebut tidak mempunyai maksud dan tujuan tertentu, bukankah mereka tidak mengenal amal jariyah? Hasilnya pun sudah tampak jelas; penghinaan terhadap Allah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung oleh sejumlah mahasiswa, dilegalkannya praktek perkawinan homoseksual oleh sejumlah akademisi di IAIN Semarang, dilegalkannya pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim oleh dosen fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan masih banyak lagi pemikiran dan ajaran nyeleneh yang disebarkan di Indonesia.

Sekularisme adalah paham yang memisahkan sama sekali antara agama dan kekuasaan. Artinya pemerintah tidak mempunyai kepentingan untuk mengatur kehidupan umat beragama. Jelas ini paham yang mengobrak-abrik ajaran agama Islam. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam selain menjadi pemimpin agama juga sebagai kepala negara di Madinah. Kejayaan Islam selama berabad-abad juga berada di bawah kekhalifahan yang berjalan di atas rel agama. Para pengusung sekularisme sudah sejak lama berusaha membuat Indonesia menjadi negara sekuler. Namun sampai sekarang tidak berhasil, hal ini dikarenakan ajaran agama sudah melekat kuat sejak lama pada masyarakat Indonesia.

Sudah menjadi sunatullah bahwa manusia diciptakan dalam berbagai macam suku, ras, warna kulit dan berbagai perbedaan lainnya. Hal inilah yang disebut dengan pluralitas atau keanekaragaman. Namun Pluralisme Agama yang diusung oleh beberapa kalangan akademisi di Indonesia menimbulkan keraguan masyarakat akan agamanya sendiri yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan semuanya menuju jalan kebenaran. Mereka (para pengasong Pluralisme Agama yang mengaku muslim) menganggap Islam bukanlah yang paling benar. Teologi gombal seperti ini bahkan sudah ditolak oleh Vatikan pada tahun 2001 dengan dikeluarkannya dekrit “Dominus Jesus” oleh Paus Yohanes Paulus II. Jadi setiap agama berhak mengklaim kebenaran pada agamanya. Toleransi antar umat beragama itu tidak masuk pada tataran akidah. Sesuai dengan ajaran al-Qur’an, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku,” jelas dan tidak ambigu.

Di era globalisasi seperti sekarang ini liberalisasi nilai-nilai moral agama memunculkan ide-ide dekonstruktif dari lingkungan IAIN dan sejumlah perguruan tinggi Islam yang membuat moral masyarakat muslim tidak berdaya menghadapi sebuannya di media massa. Serbuan-serbuan dekonstruksi moral yang dilakukan sebagian alumni IAIN atau sejenisnya tentu saja lebih dahsyat dari pada serbuan dari luar-seperti yang dilakukan sebagian orientalis. Sebab, para alumni atau akademisi IAIN dan sejenisnya mempunyai legitimasi sebagai ‘ulama’ yang seharusnya menjaga agama, sebagaimana diamanahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam (Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi; Adian Husaini, GIP, 2006).
Sedangkan upaya melemahkan kekuatan umat Islam dari luar hendaknya juga diwaspadai. Amerika Serikat dan Barat tentu tidak tinggal diam dalam menanggapi prediksi Samuel Huntington bahwa setelah komunis (Rusia), ancaman bagi peradaban Amerika dan barat adalah Islam. Jika kita sering mengikuti perkembangan di Irak, Afghanistan dan Palestina maka akan tampak jelas standar ganda AS, Israel dan barat yang menyuarakan perdamaian namun menginvasi negara-negara Islam. Karena tujuan sebenarnya adalah untuk melemahkan umat Islam. Kita tahu bahwa AS dan barat berusaha keras menggagalkan proyek energi nuklir Iran sedangkan AS sendiri menggiatkan pengayaan Uranium (Republika, 27/06/2006). Secara simpel dapat kita simpulkan bahwa negara adidaya itu berusaha untuk melemahkan negara-negara Islam satu per satu. Sejak peledakan gedung WTC (11 September 2001), AS telah memproklamasikan perang terhadap terorisme dan hanya membuat dua pilihan, “Either with us or with terrorist (Bersama kami atau bersama teroris).”

Setelah melihat apa yang dilakukan AS dan sekutunya terhadap negara-negara Islam dapat kita tarik benang merah dengan keadaan umat Islam di Indonesia. Indonesia adalah negara besar dengan umat Islam terbesar di dunia. Beberapa waktu lalu beberapa petinggi AS dan Inggris berkunjung ke Indonesia. PM Inggris Tony Blair berkunjung ke Indonesia pada akhir Maret 2006 yang lalu. Tony Blair menegaskan maksud kedatangannya ke Indonesia adalah karena urgensi sebagai negeri muslim yang menurutnya dapat menjadi simbol penyatuan demokrasi dan Islam. Padahal dalam kesempatan lain Blair menyatakan bahwa Islam merupakan ideologi jahat/Evil Ideology (BBC News, 16/7/2005). Dalam waktu yang berturut-turut Menlu AS Condoleezza Rice dan Menhan AS Donald Rumsfeld juga berkunjung ke Indonesia. Tampaknya hal-hal seperti itu harus dicermati dengan baik oleh umat Islam. AS melalui petinggi-petinggiya berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia agar bergabung dengan Proliferation Security Initiative (PSI). PSI adalah sebuah kerjasama keamanan permanen yang dengan itu AS dapat masuk dengan atau tanpa izin ke wilayah Indonesia dengan dalih menjaga keamanan dan memberantas teroris.

Media Massa dan Opini Masyarakat
Peranan media massa dalam membentuk opini masyarakat sangatlah penting. Media mampu membuat sebagian besar pembacanya mempunyai pandangan tertentu dalam menanggapi sebuah pemberitaan sesuai dengan misi media tersebut. Karena itu umat Islam harus waspada terhadap segala pemberitaan yang menyangkut kepentingan umat. Dalam kasus di Purwakarta misalnya pemberitaan yang simpang siur menyebabkan terjadinya berbagai reaksi yang hampir berakibat fatal.

Wacana tentang Liberalisme, Pluralisme dan Sekularisme dapat hidup dan berkembang pesat di Indonesia juga karena jasa media massa. Para pengasongnya dengan gencar melakukan sosialisasi di berbagai media. Sehingga apa yang mereka bawa dari peradaban di luar Islam sedikit demi sedikit mempengaruhi masyarakat terutama generasi muda.

Dekonstruksi moral yang meracuni masyarakat berkembang pesat melalui media massa di Indonesia. Dari IAIN Yogyakarta, Muhidin M. Dahlan menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah” (SriptaManent dan Melibas, 2005, cet. ke-7) yang memuat kata-kata: “Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan.” Sungguh sebuah pernyataan yang berbahaya.
Playboy asal Amerika dengan sangat gigih diperjuangkan agar bisa terbit di Indonesia. Padahal masyarakat yang menolak dan menentang cukup banyak. Bahkan kantornya diisukan pindah ke Bali pada saat baru menerbitkan edisi perdananya karena banyak protes masyarakat. Tampaknya ada upaya sistematis dan terus-menerus untuk menyebarkan hal-hal yang bertentangan dengan adab dan budaya masyarakat Indonesia. Dekonstruksi moral yang pada awalnya dianggap tabu, dapat menjadi hal yang biasa bagi masyarakat bila disebarkan secara terus-meneru dan berulang-ulang.

Adian Husaini dalam bukunya, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (GIP, 2006) mengisyaratkan adanya skenario dan grand design dibalik apa yang sedang terjadi pada umat Islam di Indonesia. Masyarakat harus waspada menghadapi berbagai fenomena yang terjadi. Hendaknya kita tidak mudah terpancing dan menelan mentah-mentah apa yang datang baik dari luar maupun dari dalam. Persatuan umat sangat penting untuk menghadapi berbagai arus negatif yang mengalir di masyarakat. Wallahu a’lam bishowab.

*Mantan Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia PII Sul-Sel Kabid. Eksternal. sekarang menjadi Asisten Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar.

Selengkapnya......

Harba PII (2)

PELAJAR ISLAM INDONESIA SEBAGAI ASET KEKAYAAN BANGSA INDONESIA
oleh Syahrial Faza


Hari ini Organisasi PII (pelajar Islam Indonesia) telah genap berusia 60 tahun. Sebuah usia dimana sesorang sudah memasuki kehidupan masa lanjut dan sudah selayaknya memasuki masa-masa penuh istirahat, berkumpul dengan keluarga atau dengan orang-orang yang disayangi. Namun, keadaan diatas itu hanya berlaku bagi kebanyakan manusia yang telah memasuki masa pensiun dari aktivitas kerja maupu dengan segala kepenatan hidup. Sedangkan bagi sebuah organisasi dakwah seperti Pelajar Islam Indonesia, usia ”setua” itu justru dituntut lebih banyak dituntut berperan lebih aktif lagi baik di semua lini kehidupan masyarakat. Pengertian aktif disini adalah sebuah proses maksimalisasi kontribusi komitmen keislaman dan keindonesiaan mulai dari lingkup kepengurusan terkecil misalnya struktur komisariat sampai di tingkat nasional dengan struktur Pengurus Besar nya.

Proses maksimalisasi keaktifan PII seperti di atas kemudian diterjemahkan lagi ke dalam kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Karena gerakan organisasi jika ingin diterima masyarakat harus bisa dirasakan menyentuh segala aspek kehidupan masyarakat di semua lingkungan. Masyarakat akan menerima baik PII jika PII memberikan sumbangsih di lingkungan tempat PII berada. Seperti program KPP (Komite Peduli Pelajar) PII di Yogyakarta dan Klaten beberapa waktu lalu ketika Yogyakarta dan Klaten di guncang gempa. Program KPP PII yang memfokuskan pada bidang pendidikan pelajar yang tertinggal di daerah yang terhenti aktivitas pendidikannya. Dengan memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana untuk para pelajar, PII benar-benar di terima di sana dengan baik.

Namun terkadang dilingkungan sekitar kita banyak sekali dinamika pergerakan masyarakat khususnya pelajar yang tidak sesuai dengan visi dan misi PII seperti banyak perilaku para pelajar yang tidak sesuai dengan mentalitas bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan nilai-nilai agama dan menjunjung budaya adiluhung. Sudah sering kita temui beberapa masalah -masalah sosial yang menimpa para pelajar. Diantaranya adalah perilaku kriminal seperti tawuran, mengkonsumsi minuman keras maupun narkoba yang nantinya berakibat pada aksi-aksi kriminal lain. Masalah moralitas juga mengancam para pelajar seperti free sex sampai aborsi.

Melihat kedaaan demikian, kita sebagai bagian dari elemen masayarakat lainnya seharusnya bisa menawarkan sebuah solusi agar para pelajar tersebut terhindar dari beberapa masalah yang telah dsebutkan diatas. Sebenarnya para pelajar tersebut juga membutuhkan tempat untuk menyalurkan berbagai ekspresi yang mereka miliki, karena pada dasarnya saat-saat usia pelajar mereka mulai menapaki masa pubertas atau masa dimana penuh gejolak, ekspresi yang jika tidak tersalurkan dengan baik mereka akan mencari bentuk-bentuk penyaluran ekspresi lain yang tentunya bisa juga menimbulkan efek atau masalah sosial lain.

Sebagai salah satu organisasi pelajar yang berbasis pada nilai-nilai keislaman, dan kepelajaran. Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Jawa Tengah (PW PII Jateng) bisa mengambil peran agar bagaimana para pelajar tersebut bisa terhindar dari perbuatan-perbuatan yang meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, PW PII Jateng merasa perlu mengadakan sebuah kegiatan yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi para pelajar tersebut agar dapat menyalurkan segala ekspresi yang tentunya berkaitan dengan nilai-nilai keislaman sehingga tersalurkan dengan baik.

Setelah beberapa konsep diatas dilakukan maka langkah selanjutnya adalah merumuskan beberapa strategi yang bisa dijadikan pedoman-pedoman bagi perkembangan PII selanjutnya. Pertama,pengurus diperbanyak pelajar tingkat SLTP maupun SLTA di level PD (Pengurus Daerah), atau PK (pengurus Komisariat) karena dua tingkat kepengurusan diatas yang menjadi motor pergerakan PII di masyarakat. Atau jika terdapat mahasiswa agar lebih intensif lagi dalam hubungannya dengan pelajar. Sebagai contoh misalnya ketua daerah punya temen ketua OSIS di daerahnya, atau brigade punya banyak kawan yang pandai dalam bidang olahraga. Dengan demikian maka tingkat interaksi dan komunikasi antar pelajar dengan pengurus PII akan semakin intensif sehingga setiap kebutuhan dari pelajar akan semakin mudah terserap dengan baik.

Jika sudah demikian maka langkah kedua adalah melakukan pemetaan berbagai kebutuhan pelajar yang menjadi kebutuhan pokok. Langkah pemetaan ini bisa dilakukan dengan memprioritaskan beberapa masalah-masalah pelajar yang terjadi di daerahnya. Tentunya setiap daerah atau tempat terdapat beberapa masalah yang berbeda-beda. Setelah ditemukan berbagai masalah tersebut maka diperlukan komunikasi lanjutan dengan elemen-elemen lain dalam pelajar untuk bersama-sama memecahkan masalah tersebut di lingkungan masing-masing. Langkah kedua ini bisa dilanjutkan dengan mengajak berbagai elemen pelajar lain (IPPNU,IRM, OSIS atau organisasi pelajar lainnya) untuk membentuk forum tersendiri atau aliansi yang kedepannya bisa menjadi pioner perubahan dalam memecahkan beberapa maslaah tadi.

Misalnya, masalah UAN yang sampai sekarang masih menjadi masalah bagi pelajar lainnya. Menurut penulis, banyak pelajar lainnya yang masih takut untuk menyuarakan aspirasi mengenai kelangsungan UAN. Bagi PII, apakah benar itu merupakan masalah atau keinginan pelajar? Pada kenyataannya banyak terjadi pro kontra di masyarakat karena standar nilai yang terlalu tinggi. Hal hal inilah yang seharusnya direspons oleh organisasi pelajar lainnya terlebih bagi PII karena merupakan organisasi pelajar yang benar-benar netral sehingga mudah bagi PII untuk bisa mengakomodasi berbagai kepentingan pelajar lainnya.

Ada perbedaan yang sangat mencolok pada saat pergerakan PII di awal-awal revolusi kemerdekaan Indonesia, masa G/30-S/PKI masa pemberlakuan asas tunggal pancasila untuk semua organisasi di Indonesia. Masa -masa ini yang menyebabkan PII ditekan oleh orde baru. Tapi, pada zaman reformasi sekarang tuntutan PII lebih riil yaitu kontribusi apa PII untuk membantu pelajar. Sekarang PII sudah lama jauh dari pelajar sehingga PII tidak mengetahui kemauan pelajar atau tidak dinamis dengan dunia pelajar. PII harus bisa menjawab persoalaan itu. Sekarang sudah saatnya PII masuk kedalam dunia pelajar menyertai dan menyelami masalah pelajar. PII akan terpublikasikan sendiri jika benar-benar menyelami masalah realitas pelajar.

PII itu adalah kekayaan bagi pelajar Indonesia . ada nilai-nilai penting di PII yang harus selalu dijadikan pegangan yang yaitu , leadership,,jiwa independen, pengembangan sikap militansi,dan sikap kritis berbagai hal. Itulah yang Insya Allah akan membawa pelajar dalam membangun masa depan Indonesia.

Syahrial Faza, Aktivis PW PII Jateng, alumnus FISIP UNDIP

Selengkapnya......

Harba PII

Pendidikan; Jawaban Atas Keterpurukan Bangsa
Oleh Ibn Ghifarie

"Pendidikan merupakan jawaban atas keterpurukan bangsa. Bukan dengan cara membagi-bagikan uang?", demikian ungkap Ryaas Rasyid, Ketua Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB-PII) dalam acara Tasyakur peringatan Hari Bangkit (Harba) Perhimpunan KB-PII ke-60 bertajuk `Pacu Karya, Raih Prestasi, Jadi Pelajar Unggul bersama Pelajar Islam Indonesia (PII)` di gedung Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam (P3G IPA), Minggu (20/5).

‘Ini yang mesti dikritisi oleh PII dan tanggung jawab PII dalam menyelesaikan keterpurukan bangsa`. jelasnya.

Menyoal kemiskinan yang sedang melanda indonesia Ia berpendapat, "Indonesia tidak layak dikategorikan miskin, sebab kekayaan melimpah luah, SDA (Sember Daya Alam-red) masih tersedia, dan orang-oarang kaya raya pun banyak di negara kita".

"Nah segala persoalan ini bermula dari Pemimpin yang tidak amanah dan amburadulnya menejemennya", paparnya.

Untuk itu, Tasyakur Harba tak hanya perayaan saja, tetapi harus menjadikan pendidikan sebagai gerakan, bukan program tahunan semata. Apalagi bagi PII yang konesn terhadap dunia; pendidikan, dakwah dan pemberdayaan ekomoni keumatan, tambahnya.

Lain halnya dengan Ganjar Kurnia, Rektor Unpad (Universitas Padjadjaran) Bandung. Selain pendidikan yang harus di utamakan dalam memperbaiki kondisi Indonesia. Rekontruksi pemikiran dan keumatan menjadi modal utama, ungkapnya. "Semuanya ini harus berawal dari insyaf ketika bertindak untuk bertangungjawab", tegasnya.

Perhelatan akbar ini mendapat perhatian lebih dari keluarga besar PII baik yang muda maupun tua. Terlihat dari kehadiran mantan Pengurus Wilayah (PW) sekaligus Pengurus Besar (PB) PII Jawa Barat seperti Utomo Dananjaya, dan Dalianur. Meski ada kehawatiran atas kemerosotan kader-kader PII ditengah-tengah persaingan organisasi pelajar.

"Jangan takut dengan kondisi seperti ini. Apalagi tidak ada kader. Sebab saatnya pelajar harus menjadi objek, bukan subjek", ungkap Masdum, ketua PW PII dalam sambutannya.

"Siga kieu lantaran PII (keadaan seperti ini berkat PII). Diadakanya acara Harba PII Ke-60 ini guna melajutkan kiprah pendiri PII seperti Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji serta merenungkan kembali kejayaan islam dan keindonesiaan", kata Aa Tarsono selaku Ketua Pelaksana.

Tentunya, tidak lupa pada lemah cai PII setelah tak aktif jadi pengurus PII dan sekian tahun beraktivitas di luar PII. Maka Harba moment silaturahmi dan reunian guna mempererat persaudaraan di kalangan Keluarga Besar PII, tambahnya.

Senada dengan Aa Tarsono. Oma Wiharja Masyuri, ketua Pengurus Wilayah Perhimpunan KB-PII menjelaskan acara ini merupakan usaha meneruskan cita-cita para pendiri PII untuk mencapai tujuan PII `Kesempurnaan Pendidikan dan Kebudayaan yang sesuai dengan islam`

"Meski dengan berbagai keterbatasan. Semoga kegiatan ini dapat bermakna dan berguna bagi kemaslahatan umat", ungkapnya. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok P3G IPA, 20/18.39 wib

Selengkapnya......

Monday, April 23, 2007

Pendidikan Alternatif

Pendidikan Religius
Oleh : Hakey*


Saya merasa sedikit tercengang sekaligus ta’jub ketika seorang teman menyuruh kepada saya untuk sekedar membaca sebuah kolom kesehatan yang ada di Gatra edisi pertengahan ramadhan yang lalu. Seorang dosen dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negri (atau biasa disebut dengan IAIN) Sunan Ampel, yang beliau juga adalah seorang dokter lulusan FK UNAIR.

Melakukan sebuah riset kepada 41 siswa sekolah menengah di sebuah lembaga pendidikan yang terletak di kota Surabaya. Ke 41 siswa tadi diminta oleh sang dokter untuk menjalani shalat tahajjud setiap malamnya selama sebulan. Dari 41 siswa yang di minta tadi hanya ada 23 siswa yang bisa bertahan untuk menjalani rutinitas ritual shalat malam tersebut. Ke 23 siswa yang masih tetap bisa konsis untuk menjalankan tahajjudnya dengan ikhlas tersebut dianjurkan untuk kembali shalat tahajjud setiap malamnya pada bulan berikutnya untuk diadakan test tahap kedua. Yang dapat berhasil lolos test pada tahap kedua sebanyak 19 siswa.

Setelah para siswa melakukan ibadah shalat tahajjud, sang dokter kemudian memeriksa sample darah yang ada dalam tubuh para siswa . Salah satu yang menjadi objek observasi sang dokter adalah hormon kortisol. Hormon ini berkaitan dengan stress yang melanda manusia. Apa hasilnya? ternyata siswa yang telah melakukan shalat tahajjud mengalami penurunan hormon kortisol, baik yang melaksanakan tahajjud di bulan pertama apalagi mereka yang melaksanakan sesuai anjuran sang dokter selama dua bulan berturut-turut.

Tentunya grafitasi penurunannya juga berbeda. “Ini berarti tahajjud menurunkan tingkat stress yang melanda manusia” demikian paparan sang dokter. Subhanallah, sunnah rasul yang agung itu ternyata begitu dalam hikmahnya. Sebagaian manusia yang kurang peka serta tersirami oleh nilai-nilai spiritual islam mungkin menganggap bahwa bangun untuk berwudhu dan shalat di akhir malam hanyalah sebuah pekerjaan yang melelahkan serta mengganggu kenyamanan tidur saja. Tapi itulah islam,sebuah risalah suci yang benar-benar mengatur serta membawa manusia kepada sebuah tatanan yang benar-benar manusiawi. Ketika manusia di abad yang serba modern dan canggih ini sibuk mencari solusi untuk hanya menghilangkan rasa jenuh dan stress akibat kesibukan mereka setiap harinya,dengan rekreasilah, berpetualanglah, memancinglah, mendengarkan musiklah, main gamelah, atau kegiatan-kegiatan yang lain. Maka islam telah memberikan solusi itu sejak 14 abad yang lalu.

Coba sejenak kita menulusuri kehidupan bapak reformis dunia, Muhammad SAW.kejujuran, kebijaksanaan, budi pekerti, kehalusan tutur kata, perangai baiknya tidaklah ada yang meragukannya. Bahkan dalam buku yang versi bahasa indonesianya adalah “Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah” ditulis oleh Michael H. Hart (seorang non muslim) mencantumkan nama Muhammad SAW sebagai orang pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia, bukan Isaac Newton ataupun Isa yang di percaya oleh kaum Nasrani sebagai anak Tuhan dan dia juga adalah Tuhan bagi mereka.

Padahal secara populasi, ummat kristiani di seluruh dunia ini lebih banyak jumlahnya di bandingkan ummat Muhammad SAW. Tapi itulah fakta yang ada. Keberhasilan nabi akhir zaman itu tentulah tidak bisa lepas dari sebuah “pendidikan rabbani” yang beliau terima lewat perantara malaikat Jibril alaihissalam. Sebuah lembaga pendidikan yang di bimbing langsung oleh Dzat Maha Agung. Sang pemilik kerajaan bumi dan langit serta segala yang ada di dalamnya. Apakah beliau orang yang kerjanya cuman nganggur-nganggur aja, tidak sesibuk para pengusaha profesional yang ada di zaman kita sekarang? tentulah tidak, beliau adalah seorang yang memenangkan perang badar, beliau juga seorang yang melakukan “fathu makkah”, beliau jugalah sang “founding father” negara Madinah yang ada pada waktu itu. Pada masa remaja beliau juga seorang pengembala biri-biri yang sangat cekatan, seorang pedagang yang amatlah profesional. Pada awal-awal karirnya meniti jalan kenabian juga beliau tidak luput dari caci-maki serta sumpah-serakah yang di gembar-gemborkan oleh para pemuka suku bangsa Quraisy yang amatlah membenci risalah kenabiannya. Dituduh sebagai seorang penipu, diklaim sebagai orang gila, serta banyak ejek-ejekan yang cukup memerahkan telinga yang beliau terima. Apakah beliau mengalami stress seperti para pengusaha yang tutup modal dikarenakan perusahaan yang di kelolahnya bangkrut?

Islam mengajarkan kepada seluruh ummatnya untuk tetap menyeimbangkan dua sisi kehidupan yang berbeda, sebuah keseimbangan yang sangatlah harmonis. Memerintahkan kepada kita untuk mencari apa yang ada di dunia seakan-akan kita akan hidup untuk selamanya (tentunya dengan cara yang telah diajarkan), tak lupa pula memerintahkan kepada kita untuk selalu memompa semangat ruhani, mencari bekal-bekal amal dengan ibadah dan bertafakkur kehariba’an ilahi rabbi, seakan-akan ajal akan menjemput kita esok hari. Dari itu dapat di ambil kesimpulan bahwa, islam memerintahkan kepada kita untuk selalu mencari kebaikan-kebaikan yang ada di alam raya ini. Belajar, menuntut ilmu, mengerti tentang alam, tentang manusia, serta pelajaran-pelajaran yang bisa di ambil dari jagat raya ini, tentunya dengan memaksimalkan akal pemberian Tuhan. Disisi yang lain islam juga menganjurkan kita untuk selalu menjaga hati, sebuah titik pusat segala aktivitas manusia itu muncul, sebuah organ yang sangat unik, mampu mengangkat derajat anak adam melibihi derajat malaikat, serta sanggup untuk menjerumuskanya pada derajat yang lebih rendah daripada hewan.

Sebuah pendidikan yang luar biasa mulia, akankah kita, orang-orang yang telah mendapatkan nikmat beragama islam akan mencari pendidikan-pendidikan yang lain ? Wallahu a’lam.

*Mahasiswa Al-Azhar

Selengkapnya......

Pendidikan Tercoreng

IPDN, Cermin Gagalnya Reformasi Pendidikan
oleh Mohammad Yasin Kara

Kekerasan yang terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang,

merupakan cermin gagalnya program reformasi pendidikan nasional. Kekerasan yang menyebabkan meninggalnya Cliff Muntu, seorang praja berusia 19, oleh kalangan seniornya adalah fakta sosiologis gagalnya pemerintah dalam menerjemahkan visi masa depan pendidikan nasional--dalam korelasinya dengan proses pembangunan bangsa dan terbentuknya peradaban umat manusia secara universal.

Masalahnya bukan kali ini saja kekerasan di luar batas kemanusiaan di IPDN itu terjadi. Tapi mengapa pemerintah tidak bisa membangun solusi alternatif dalam menangani masalah ini. Persoalannya cukup fundamental, praja-praja yang tengah dibina di IPDN adalah calon pejabat negara yang akan meneruskan perjuangan pembangunan masa depan bangsa.


Sebelum meninggalnya Cliff Muntu, tidak kurang dari 11 praja harus dirawat di rumah sakit karena terlibat perkelahian pada 1 Maret 2005 di IPDN. Sementara itu, pada 16 Oktober 2004, kekerasan oleh praja senior menimpa Ichsan Suheri, bahkan pada 3 September 2003, Wahyu Hidayat meninggal akibat dianiaya sebagaimana halnya Cliff Muntu. Demikian halnya dengan kematian Ery Rahman pada 3 Maret 2000, yang merupakan korban kalangan praja senior di IPDN itu.

Sangat mengerikan, karena bisa jadi data di atas ini sekadar puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan. Kasus kekerasan yang sebenarnya di IPDN itu mungkin saja sudah sangat kronis, sehingga sangat sulit dibenahi kembali. Bisa jadi para pendidik di lingkungan IPDN tersebut menganggap kekerasan yang terjadi selama ini hanyalah fenomena biasa, "ritual" balas dendam yang terjadi turun-temurun. Buktinya, banyak sekali kasus di luar batas kemanusiaan terjadi tanpa ada upaya perbaikan yang memadai.

Hasil penelitian terkait dengan masalah ini menunjukkan data yang sangat mengejutkan. Disinyalir, semenjak 2000 hingga 2004, diperoleh data adanya pergaulan seks bebas dalam 600 kasus, 35 kasus penganiayaan berat, 9.000 penganiayaan ringan, dan ada 125 praja yang terlibat penggunaan narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba). Data ini memperkuat argumentasi betapa program reformasi pendidikan nasional kita itu telah gagal. Boleh jadi kasus serupa sebenarnya juga terjadi dalam banyak institut atau universitas lainnya di negeri ini, tapi belum terkuak ke permukaan.

Membangun paradigma baru

Digabungnya Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN pada 2004 ternyata tidak mampu membangun paradigma baru bagi lembaga pendidikan ini. Mengapa mereka (pihak-pihak yang terkait dengan lembaga pendidikan ini, terutama pemerintah) tidak mampu melakukan perubahan? Saya berpandangan bahwa kasus kekerasan yang terjadi dan terus terulang di lembaga pendidikan ini sudah sangat kronis dan kompleks. Kesalahan awal terletak pada dangkalnya pemikiran para stakeholder saat dilakukan perubahan pada dua lembaga pendidikan ini. Pemerintah ternyata hanya melakukan perubahan pada aspek nama/institusi, bukan pada level kerangka pemikiran yang secara paradigmatik bersifat substantif.

Akibat perubahan yang lebih bersifat simbolis inilah, kekerasan yang telah turun-temurun terjadi tidak terhindarkan dari waktu ke waktu. Karena itu, pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan masalah ini mesti segera melakukan pengkajian ulang yang lebih mendasar guna menemukan pokok persoalan yang bersifat mendasar dan komprehensif. Jika tidak, kekerasan demi kekerasan dan berbagai perilaku sosial yang tidak berperikemanusiaan akan terus terjadi dan terulang dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

Pertanyaannya, paradigma baru seperti apa yang mesti dibangun guna menghindari terulangnya kasus-kasus serupa di masa mendatang? Ada beberapa persoalan/pokok pemikiran yang perlu diuraikan berikut ini.

Pemerintah dan semua pihak yang terkait mesti segera melakukan identifikasi masalah secara detail dan komprehensif terhadap masalah-masalah yang selama ini terjadi. Misalnya, mengapa terjadi penganiayaan secara fisik atau mengapa ada pendidikan yang menekankan aspek fisik? Bukankah IPDN adalah lembaga pendidikan nonmiliter?

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan ini mesti dikumpulkan sebagai instrumen analisis bagi kemungkinan untuk membangun paradigma baru di kemudian hari. Demikian halnya dengan kasus-kasus lain yang terjadi di lembaga pendidikan itu, baik pelecehan seksual, seks bebas, maupun keterlibatan mereka dalam narkotik, yang jelas-jelas melanggar hukum. Semua aspek ini penting berkenaan dengan posisi mereka sebagai calon pejabat negara yang diharapkan melanjutkan perjuangan pembangunan bangsa ini di kemudian hari.

Pertanyaan mendasar lainnya, siapa yang paling bertanggung jawab atas berbagai permasalahan yang terjadi di IPDN itu? Mengikuti filosofi kematian ikan, biasanya yang busuk terlebih dulu adalah kepalanya. Filosofi kematian ikan ini hendak menjelaskan bahwa kasus-kasus di IPDN itu terjadi karena adanya kesalahan pada tingkat pengambilan kebijakan (stakeholder).

Berpijak pada penjelasan ini, pengusutan secara tuntas adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Siapa pun yang terlibat kasus ini mesti dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Berkaitan dengan kasus yang dapat dibilang cukup parah ini, sudah saatnya pemerintah, terutama Presiden, menunjukkan taringnya yang kuat dan perkasa untuk bersikap lebih tegas, menindak semua pihak yang terlibat dan mencari solusi alternatif pendidikan yang lebih baik di masa depan.

Pembubaran IPDN

Melihat data dan fakta terkait dengan banyak kasus yang terjadi di IPDN selama ini, banyak kalangan kemudian mengusulkan agar lembaga pendidikan (IPDN) itu dibubarkan saja. Usul pembubaran ini bukannya tidak beralasan. Mereka berpandangan bahwa kekerasan yang terjadi dan terus terulang di IPDN telah mencoreng atau mencemarkan nama baik dunia pendidikan. Lebih dari itu, lembaga ini (IPDN dan juga dua lembaga sebelumnya, STPDN dan IIP) dapat dinilai gagal dalam mempersiapkan calon pejabat negara yang berkualitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya pejabat negara yang terlibat berbagai perilaku korupsi selama ini. Memang perlu ada penelitian untuk membuktikan hal itu.

Karena itu, menanggapi gagasan pembubaran IPDN itu, pemerintah mesti membuktikan kepada publik, apakah betul negara memang sangat membutuhkan sistem pendidikan dengan lembaga tersendiri bagi para calon pejabat negara, setelah kini terbukti sekolah itu tidak memberi pelajaran baik bagi masa depan pembangunan bangsa ini? Jika memang tidak perlu, layaklah IPDN itu dibubarkan. Sementara itu, rekrutmen bagi calon pejabat negara sebaiknya dilakukan secara umum melalui penambahan materi khusus di berbagai universitas yang sudah ada. Dengan demikian, berarti negara telah berupaya menyelamatkan banyak generasi dari kekerasan yang telah terfragmentasi di IPDN selama ini. Pada sisi lain, hal ini juga bisa menghemat tenaga dan biaya serta memacu kompetensi anak didik secara lebih sehat di masa depan.

Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA KOMISI X DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI, SEKRETARIS FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL

*sumber kompas 10/04/07

Selengkapnya......

Pluralisme

Merayakan Pluralisme Islam
Oleh Syafiq

Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik.

”… Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sejumlah sistem yang berkembang di kalangan mereka, seperti aspek sosial, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, politik, dan bahasa,” demikian Khalil Abdul Karim dalam sekapur sirih untuk karyanya Al-Judzur al-Tarrikhiyyah li al-Syari`ah al-Islamiyyah. Dalam karya bombastisnya itu, Khalil Abdul Karim menguak beberapa praktik ajaran Islam yang diadopsi dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Praktik poligami, penentuan seperlima dalam pembagian hasil rampasan perang, perbudakan, syura (musyawarah), kekhalifahan dan sebagainya bukan merupakan ajaran Islam yang pure dari langit. Dalam hal ini, Ali Abdul Raziq benar ketika mengatakan dalam bukunya Al-Islam wa Ushul al-Hukm bahwa kekhalifahan bukan merupakan ajaran Islam.

Bahkan, Khalil juga berkesimpulan bahwa sebagian praktik ritual dalam Islam merupakan kelanjutan belaka dari ritual masyarakat Arab yang berumur ribuan tahun. Ia mencontohkan tradisi pengagungan Ka`bah dan Tanah Suci Mekkah, prosesi Haji dan Umrah, sakralisasi bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram (al-Asyhur al-Hurum/ Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), penghormatan kepada Ibrahim dan Ismail sehingga umat Islam disunahkan sembahyang dua rakaat di maqam Ibrahim tatkala menunaikan ibadah Haji, dan kebiasaan berkumpul pada hari Jumat untuk menunaikan salat Jumat.

Kenyataan ini tidak berarti Islam melulu bersifat lokalistik. Di dalam Islam juga terkandung nilai-nilai universalitas karena Islam meneguhkan dirinya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang bertujuan mencerahkan kegelapan umat manusia, bukan agama rahmatan lil ‘arabiyyin (membawa rahmat hanya untuk orang Arab). Karenanya, penerimaan Islam akan unsur-unsur budaya lokal tidak dilakukan secara mentah atau telanjang, melainkan mengadopsi dan memodifikasinya dalam semangat Islam. Virus paganisme yang bersarang dalam ritus-ritus lokal disapu-bersih dan unsur dehumanitas dalam tradisi masyarakatnya secara perlahan diamputasi. Lokalitas hanyalah kulit luar yang berfungsi sebagai pengemas universalitas yang merupakan inti ajaran Islam.
Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik. Arabisme Islam ini nampak dalam penggunaan bahasa Arab oleh al-Quran dan narasi al-Quran yang bercerita tentang kondisi soio-kultural masyarakat Arab.

Namun, Arabisme Islam merupakan konsekuensi logis semata karena Islam tidak turun dalam masyarakat yang hampa budaya, tidak juga di luar kawasan Arab, melainkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang kaya akan tradisi warisan leluhur. Sikap Islam yang sangat akomodatif terhadap panorama budaya lokal ini menyiratkan pesan bahwa Islam harus dibumikan dengan mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom).

Lokalitas merupakan suatu keniscayaan karena tanpanya, universalitas yang menjadi inti ajaran Islam tidak akan pernah punya arti apa-apa lantaran ia tidak membumi. Universalitas dan lokalitas ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Universalitas Islam mustahil dipahami di luar konteks lokalitas. Tentu, sejarah akan bercerita lain jika Islam mengabaikan aspek lokalitas Arab di era pertumbuhannya. Sejarah tidak akan pernah mengenang kebesaran Islam jika Alquran tidak menggunakan bahasa Arab atau tidak bertutur mengenai keadaan masyarakat Arab. Mungkin Islam akan dikenal sebagai pengisi cerita di waktu senggang dalam bentangan hikayat sejarah Arab.
Ketika Islam mendarat di Bumi Nusantara pada abad VII M dan mengalami pertumbuhan yang cukup serius sekitar abad XIV hingga menjadi agama mayoritas, kesuksesan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kecanggihan negosiasi budaya yang digerakkan oleh para penyebar Islam Nusantara. Drama penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo misalnya, prosesnya tidak dilakukan dengan memotong urat nadi tradisi masyarakat Jawa, sekalipun tradisi tersebut berbau animistik- Hinduistik. Tegasnya, cara-cara Wahabistik tidak dikenal dalam kamus penyebaran Islam Jawa.
Wali Songo tidak menghancurkan tembok kuburan, tidak pula menganjurkan rakyat Jawa untuk memakai gamis, memelihara jenggot atau mengenakan jilbab bagi perempuan Jawa. Tapi, Wali Songo malah mengarifi budaya lokal setempat dengan menjadikannya sebagai instrumen penyebaran Islam seperti dipraktikkan oleh Sunan Kali Jaga yang memanfaatkan wayang untuk menarik massa agar masuk Islam. Di luar Jawa, Islamisasi juga berlangsung dalam rel kearifan lokal sehingga Islam bisa diterima secara luas oleh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa disertai pertumpahan darah.
Kemunculan Islam dengan identitas keindonesiaan yang sangat berlainan dengan Islam Timur Tengah (baca: Arab) tentu merupakan fakta yang absah dan harus dipandang secara apresiatif sebagai sesuatu yang wajar, bukan hal yang menyimpang. Pluralisme dalam skala mikro seperti ditunjukkan oleh keberadaan Islam Kejawen, Islam Dayak, Islam Samin, Islam Sasak dan seterusnya yang dalam banyak segi berbeda haluan dengan Islam masa awal yang Arabsentris, tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang mengada-ada atau heuretik.

Dalam kerangka ini, gerakan puritanisasi yang digelar oleh sejumlah ormas Islam tentu merupakan aksi pengingkaran atas watak Islam yang pluralis. Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.

Kesulitan membedakan antara Islam dan Arabisme merupakan penyakit akut yang melanda kebanyakan umat Islam di dunia. Kegagalan memisahkan keduanya berimplikasi pada pemahaman bahwa Islam itu satu, yakni Islam Arab. Pluralisme Islam akan dipandang sebagai bid`ah. Kelekatan Islam dengan Arabisme ini telah berlangsung sedemikian jauh sehingga muncul pandangan bahwa kadar keislaman seseorang diukur dari seberapa kental nuansa Arabisme yang mewarnai perilaku keagamaannya. Berdoa dengan bahasa Arab dipandang lebih ”Islam” ketimbang menggunakan bahasa selain Arab (Ajam). Orang yang memakai gamis atau perempuan berjilbab akan dipandang sebagai seorang muslim sejati dibanding dengan yang lain.

Sepanjang kita gagal memisahkan antara Islam dan Arabisme, maka ada tiga hal yang muncul: Pertama, kegagalan menangkap pesan Islam yang sejati yang terkandung dalam aspek universalitasnya. Kedua, runtuhnya proyek pluralisme Islam, dan Ketiga, matahari peradaban Islam akan selalu terbit di dunia Arab karena dipandang sebagai representasi Islam yang paling absah. Usaha mengalihkan peradaban Islam dari tanah kelahirannya ke Tanah Air misalnya, hanyalah sebentuk angan-angan, meskipun potensi bangsa Indonesia untuk meneguhkan diri sebagai matahari peradaban Islam sangatlah memungkinkan karena ditunjang oleh watak Islam Indonesia yang –meminjam istilah Fazlur Rahman- lebih terbuka, demokratis dan egaliter dibanding Islam yang tumbuh di kawasan lain, serta didukung besarnya jumlah pemeluk agama Islam yang melampaui eskalasi umat Islam di penjuru dunia manapun.

Dus, Islam dan Arabisme harus dibedakan sehingga pluralisme Islam bisa dirayakan. Islam tidak pernah seragam. Ia beragam karena teramat akomodatif terhadap warna-warni budaya lokal sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah perkembangannya. Pluralisme Islam adalah keniscayaan karena Tuhan menghendaki demikian. []

*Penulis aktifis PII Jakarta dan Kuliah di Paramadina Mulya.

Selengkapnya......

Wednesday, March 14, 2007

Ibunda

Mengapa Ibuku Menangis

Oleh Dalianur Hasba*

Seorang anak bertanya pada Tuhan,
“Tuhan, mengapa ibuku menangis ?”

Tuhan berkata, “Karena ibumu seorang
wanita.”

“Saat kuciptakan wanita, Aku
membuatnya menjadi sangat spesial.
Kuciptakan bahunya cukup kuat untuk
menahan beban dunia, walaupun bahu itu
harus cukup nyaman dan lembut.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat
melahirkan seorang anak sekaligus
kekuatan untuk menerima penolakkan
dari anaknya itu sendiri.

Kuberikan wanita keperkasaan untuk
membuatnya tetap bertahan saat semua
orang sudah putus asa.

Kuberikan wanita kesabaran untuk
merawat keluarganya walau letih dan
lelah tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan wanita perasaan peka dan
kasih sayang untuk mencintai anak-
anaknya dalam kondisi dan situasi
apapun walau tak jarang anak-anaknya
itu melukai perasaan dan hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan
kehangatan pada bayi-bayi yang
terkantuk menahan lelap dan memberikan
kenyamanan sangat didekap dengan
lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk
membimbing suaminya melewati masa-masa
sulit dan menjadi pelindung baginya.
Bukankah tulang rusuklah yang
melindungi setiap hati dan jantung
agar tak terkoyak ?

Kuberikan wanita kebijaksanaan untuk
mengetahui bahwa seorang suami yang
baik tidak pernah menyakiti istrinya
walaupun kadang-kadang kebijaksanaan
itu menguji kekuatan dan kesetiaannya
dalam mendampingi suaminya.

Akhirnya kuberikan wanita air mata
agar dapat mencurahkan perasaannya.
Inilah yang khusus kuberikan kepada
wanita agar dapat digunakan kapanpun
ia inginkan.

Hanya inilah yang dimiliki wanita
walau sebenarnya ini adalah air mata
kehidupan.”

Diambil dari “Why my mom
crying ?”

Sumber http://delianur.blogs.friendster.com/my_blog/

*Penulis adalah Mantan Ketum PB PII periode 2004/2006.

Selengkapnya......

Teladan

Menjadi Guru Anak-Anak
Oleh Abdul Rauf

Banyak alasan mengapa kita perlu belajar pada anak. Mereka punya kepolosan dan kejujuran yang sudah sedikit 'asing' di dunia orang dewasa. Mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar (curiousity), sesuatu yang mulai berkurang pada orang dewasa karena terlalu sering mewajarkan sesuatu yang tidak biasa sekalipun. Dan bayak hal unik pada anak yang perlu kita renungkan dan dijadikan cermin. Singkat kata, saya bersetuju dengan tulisan di kolom ini pada minggu yang lalu. Sekarang, saya kira refleksi ini bisa (perlu) kita balik:seberapa banyak alasan bagi anak untuk 'berguru' pada kita.

Barangkali yang dimaksud dengan anak dalam tulisan ini berbeda dengan maksud yang dituju pada tulisan sebelumnya. Bagaimanapun, saya belum berkeluarga apalagi menjadi orang tua bagai seorang anak. Pun demikian, pengalaman menjadi dan berinteraksi dengan anak bukan monopoli para orang tua saja. Kembali ke soal, sebagai golongan sosial yang sudah bukan termasuk kategori anak, cukup banyakkah alasan kita untuk menjadi guru atau media belajar bagi anak?.

Dalam hidup sehari-hari, dalam konteks kebudayaan ada yang disebut dengan belajar budaya. kita lebih akrab dengan istilah teknisnya yaitu sosialisasi. Yang dimaksud bukan proses penyebaran informasi melainkan proses seseorang (anak) mengenal dan dikenalkan, belajar menghayati dan mengaplikasikan aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungannya. Dalam konteks perbincangan kita, seorang anak belajar tentang sikap yang seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan orang tua, kakak, pembantu dan hubungan-hubungan dengan orang di lingkungan yang lebih luas lagi. di sini, salah satu agen sosialisasi primer bagi anak-adalah keluarga. Contoh kecil, misalnya, seorang anak akan meminta bantuan kepada pembantu tidak kepada saudaranya jika anggota keluarga lain bersikap serupa. Dengan kata lain, sikap dan perlakuan kita terhadap pembantu akan jadi referensi bagi si anak.

Pada era informasi yang canggih sekarang ini, agen-agen sosialisasi mulai menggeser keluarga bahkan bisa jadi _untuk orang tua yang sibuk_mengambil alih perhatian anak. Adalah media,terutama televisi, telah menjadi guru favorit baru bagi anak-anak. Seibarat kotak pandora, baik-buruk tentang segala hal bisa diperoleh dengan mudah. Kerapkali muncul tak terbendung. keluarga sebagai kontrol kepatutan (norma) bagi anggotanya, disadari atau tidak, memeroleh saingan baru dalam proses belajar budaya. Bagi orang tua sibuk, televisi menjadi pengasuh paling setia ketimbang pengasuh sendiri. Meski demikian, toh televisi seakan-akan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Di sinilah persoalan muncul. Orang dewasa yang berada di balik televisi maupun konsumen televisi masih belum aware dan menjadi peduli untuk membuang_kalau tidak bisa, mengeliminir_ sisi negatif dari kotak pandora ini. Untuk ini kita bisa ambil contoh tentang tayangan drama kekerasan yang ditayangkan salah satu stasiun swasta yang bukan sekedar menanamkan benih kekerasan pada anak, bahkan sampai merenggut nyawa.

Jadi, masih banyakkah alasan bagi seorang anak untuk 'belajar' pada orang dewasa? Contoh yang dipaparkan tadi sebetulnya hanya salah satu saja. Saya rasa, persoalan utamanya adalah sejauh mana kita bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita. Orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Kakak bagi adiknya. Produsen media bagi halayak penontonnya. Dan tentu saja, pemimpin bagi rakyatnya. Wallaahu a'lam.

Sumber http://dulur.blogs.friendster.com/my_blog/

*Penulis adalah Mantan Ketum PD PII Kab Bandung periode 2003/2004. Kini, sedang menyelesaikan kuliah di jurusan Antropologi Unpad.

Selengkapnya......

Ngeja PII

Sekedar Pelajar Islam Indonesia (PII)
Oleh Adinda Ihsani Putri

whoo...gimana ya nyeritain PII...
jadi dulu gw pas smp kelas 2, diajak bonyok ikut training di Cicalengka...yang kebayang, kayak training2 nya PAS Salman gitu...pas dateng, pemandangan yang didapetnya, gedung sekolah tua, kotor, angker, banyak orang yang gayanya unik dan gw gak kenal...ternyata Leadership Basic Training...
penderitaan yang punya makna besar...secara gw dulu manja banget ma umi-abi (bonyok)gw...gw dikirimin tiker, selimut, susu...padahal orang2 disana pada bawa baju aja paling ma alat tulis...gw merasa parah waktu itu...diskusi demi diskusi gw lewatin...walaupun aneh, masa gw harus diadu ngomong ma anak SMA, kuliahan...beurat...tapi akhirnya gw beresin seminggu disana...
kenal Iqbal...anak tasik yang ngasih gw impression disana...walaupun dah ngilang tah kmana...
kenal Eksa, Bang Jay...dan ternyata gw pertama kali ketemu ma my last (amiin) disana juga...tapi dulu gw blom kenal...kenal banyak lah...
gw ikut bareng uki (abang), ucan, fia (sepupu) dan ita (sodara jauh) gw...
trus...6 bulan kemudian gw ikut Latihan MAnajemen Dasar...di Bandung...seneng banget...gw wktu itu lagi di PK Coblong...PK yang garing...tapi mutu lah gara2 orang2nya keren2...haks...
2003 gw jadi ketua korda PII Wati Kota Bandung...awal tahunnya, gw ikut Leadership Intermediate Training...inloknya Ka Erlan...disitu gw mulae bkenal2 ma Imron...dst..sst...it's private!
2004 gw jadi kabid internal...2005 ikut SDPN di jogja...ikut Konwil juga di TAsik...masuk deh ke PW PII Jabar...ketuanya namanya Masdum...
sempet ikut banyak kegiatan...simple sih...tapi mutu...gw ngerasa banyak belajar banyak...
tapi sekarang2 gw lagi bad mood di PII...yah...itu masalahnya...bosenkah? atau apa ya? kayaknya gw aja yang lagi ngaco...forget it!
pokoknya ni organisasi keren bgt! the best ever!
oia, gw pnah ke Ambon gara2 kut Muknasnya PII lho...asik...

sumber http://ndajugasemesta.blogs.friendster.com/nda_adin_ndaduth_teteh_ay/

*Penulis Pengurus PW PII Wati Jabar. Kini, sedang kuliah di ITB

Selengkapnya......

Wednesday, February 28, 2007

UIN

Cahaya sore di UIN Sunan kali jaga..

Oleh Ari Suciatno


Cahaya sore di UIN Sunan kali jaga..
Detik-detik terakhir.. Mungkin nanti? ingatkah itu!..
Dan kebodohan itu! dalam sebuah sejarah hidupku.. adalah saat aku meninggalkanmu.. Mungkin nanti? kau akan tau seberapa baiknya itu?!
Dan aku,.. biarkan jiwa dan roh cintaku terkikis oleh waktu yang menyayat-nyayat uluh hati dan pikiranku.. Demi kau dan kencantikan yang selalu ku simpan dalam dopetku.. Terima kasih atas segala waktu dan senyum manismu..
Ku tunggu sampai matiku.. Caci-makimu, dengan gumpalan kejengkelan, kebencian dan kekesalanmu..

maafkan aku..


Ari..

Selengkapnya......

Cinta

Ketika Aku Bicara Cinta (1)

oleh Ari Sucianto


Cinta adalah bahasa keiklasan dalam ungkapan dan luapan rasa emosional, untuk memberikan sesuatu yang terbaik pada suatu yang dikagumi yang telah singgah dihati.. Sesuatu yang dikagumi itu! Bisa berupa benda, seseorang, negara, idiologi, golongan (dll yang sifatnya duniawi) dan Tuhan..! (Allah swt..) Cinta kepada Tuhanlah cinta yang semestinya terwujud dan harus ditinggikan diatas cinta kepada cinta selainNya.. “Kenapa Mesti demikian?!!... Karena Dialah Cinta di atas cinta yang sesungguhnya kita rasa... yang tak akan pernah hilang dan pergi meninggalkan kita sedikitpun... yang tak akan pernah berhenti memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa yang telah terhanyut, terayu pada syair-syair CintaNya, yang lembut terurai turun menyusuri bumi... Syair-syair CintaNyalah yang akan menghijaukan daratan, membirukan launtan dan mengindahkan langit-langit tempat bersemanyamnya percikkan para bintang...

Duhai yang Maha Cinta...

Cintailah cintaku...

Panah cintaku pada cinta yang semestinya kepadaMu...

Duhai yang Maha Cinta...

Cintailah aku...

UntukMu Cintaku...

Ku syairkan hatiku...

I love you Allah...

I love You...

...

Ketika Aku Bicara Cinta (2)

Dariku, hambaMu... Si Penghianat Cinta.


Menjadi seperti apa? Yang diinginkan orang yang kita cintai, dengan landasan keiklasan.. akan jauh lebih baik ketibang menjadi pemuja dan perayu hatinya.. karena bahasa cinta adalah bahasa keiklasan untuk menjadi yang terbaik untuk orang yang kita cintai.. bukan bahasa keinginan untuk memiliki hatinya.. biarkanlah hatinya terbang mengikuti irama alam.. dan teruskanlah cinta pancarkan cahaya tuk terangi setiap pijak langkahnya.. secara wajar dan baik-baik saja..

Ketika Aku Bicara Cinta (3)

Ketika aku bicara cinta..

Seperti inilah adanya aku..

Merayumu hingga ke uluh hati..

Memanjakanmu, sampai kau mati..

Seperti inilah adanya aku..

Ketika aku bicara cinta..!

Dan, lalu..

Maafkan aku..

Aku merayumu, bukan karena aku, punya cinta padamu mati!

Tapi karena kau wanita..

Ada lembutnya hati!

Yang wajib! Kujaga!

Maafkan aku..

Ketika aku bicara cinta..

Kata-kataku menuwai luka baru untukmu..

Maafkan aku..

Aku bukan sandaran terbaikmu..

Hanyalah.. dan adalah Dia..!

Pencipta dan penjaga Cinta sejatimu..

Shubahanallah..

Maha suci Allah..

Bersandarlah kau padaNya..

Dzat Si Maha Cinta yang terpaling tinggi..

Maaf..

Bukan aku..

Yang mesti kau cinta mati!

Tapi Dia..! Dia..! Dan hanya Dia..!

Bagiku.. adanya aku..

Hanyalah sekedar sahabat penasehat hati..!

Sesudah itu..

Selamat tidur..

Selamat malam..

Selengkapnya......

Aku

Menurutku...

Ari Sucianto

Terdapat 7 orang yang mempengaruhui hidupmu:

1.Orang yang kamu tau: adalah orang yang pernah kamu lihat.

2.Orang yang kamu kenal: adalah orang yang pernah memperkenalkan dirinya kepadamu.

3.Orang yg akrab denganmu: adalah orang yang sering bertemu, bercanda, curhat, dan sering berjalan bersamamu.

4.Teman: adalah orang yang selalu siap hadir dalam susahmu dan paling bahagia saat kamu sehat, kuat dan berhasil atau sukses dalam suatu hal.

5.Sahabat: adalah orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi hidupmu.

6.Saudara: adalah orang yang mempunyai hubungan darah dgnmu.

7.Kekasih: adalah orang yang kamu pilih dalam urusan hati.

Oleh karena itu, di dalam dunia ini:

Tidak ada yang namanya teman itu iri atau dengki..

Tidak ada sahabat yang berhianat..

Dan jgn kaget jika ada saudara yang berbuat jahat..

Agar kamu ga sakit hati? Maka ajarkanlah kekasihmu tubuh menjadi sahabatmu..

How about you???

Selengkapnya......

Esok

Hari Esok, dan disuatu ketika?

Oleh Ari Suciatno


Hari esok..

Dan di suatu ketika..

Saat suara tak terdengar..

Saat mata terpejam..

Saat suasana sunyi gelap-gulita..

Saat diding liang lahat pisahakan dua dunia..

Hanya, apa yang kita perbuat, itu yang menemani..

Hari esok..

Dan disuatu ketika..

Nyayian penyesalan..

Hanya jeritan menambah derita..

Hanya apa? Hanya itu yang kita bisa..

Kenapa kita mesti menunggu?

Hari esok..

Dan disuatu ketika?..

Dengan terus menciptakan penyesalan-penyelasan, baru’

Yang menyakitkan diri kita sendiri?

Hari esok..

Dan disuatu ketika?

Mengikis waktu-waktu..

Berhari-hari.. makin mendekat!

Selengkapnya......

Sahabat

Surat Untuk Sahabat
Oleh Ari Sucianto

Gemericiknya waktu yang tertinggal.. Aku rindukan Sahabatku, nyayikan lagu-lagu Cinta.. Suara guitar, senyum manis dan canda-tawa.. Pecahkan cahaya bintang diruang depan.. Siapkan sologan atas nama Cinta.. Demokrasi hati mulai bicara.. Kau datang hampiri aku sepenuhnya..! “Hujan telah redah kawan..” katamu, yang dulu pernah ku sakiti..! Benar perinsipmu! Yang namanya sahabat tidak ada yang berhianat..! Tertulis untukmu yang dimana kini?... ( Puisi 3 hari sebelum kau pergi.. )

Selengkapnya......

Beda-Beda



Jika memang Islam hadir untuk menghapus "kebodohan" umat manusia menuju jalan lurus yang selamat yang diridoi Allah SWT. Kenap umat islam tak lebih baik daripada non muslim. Mulai dari pendidikan, keterbelakangan ilmu pengetahuan (Iptek) sampai pada persoalan keIman dan takwan pun masih mengidam penyakit akut bernama 'klaim kebenaran'.

Satu kelompok dengan golongan lain, beranggapan bahwa paham merekalah yang paling benar. Di luar batas perhimpuannya sering diangap sesat, hingga kafir. Benarkah sifat dan perbuatan lalim itu di perintahkan oleh Rasul? Tentu saja jawabanya tidak. Lantas apa yang meski kita perbuat, manakala islam berwajah 'ganjil' dalam menyikapi tradisi?

Pemahaman perbedaan pendapat pun harus berubah haluan menjadi laknat daripada rahmat. Lagi-lagi, ruang dialog tak pernaha akrab dalam keseharian kita. Kita hanya bisa menyelesaikan segala persoalan itu dengan meruju kepada hukum Tuhan. Tentunya, pelbagai dalih pun harus rela tuntuk atau sengaja di bakuakn dengan sumber tersebut.

Padahal, begitu tipis perbedaan antara hukum Tuhan dengan Adat. Namun, kedua-duanya mengajarkan kita supaya berbuat baik kepada dirinya, orang lain dan sekiranya. Jika tak bisa berprilaku arif, maka tinggalkanlah. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 21/12;23.56 wib

Selengkapnya......

Perang Akbar

Perang Akbar; Melawan Hawa Nafsu
Oleh Ibn Ghifarie

Memerangi hawa nafsu merupakan perang paling akut sekaligus abadi daripada berperang atas nama kepentingan kelompok maupun pribadi. Hingga Iwan Fals berkata dalam liriknya, 'keinginan adalah sumber penderitaan, tempatnya ada dalam pikiran'.

Dengan demikian, segala bentuk peperangan akan membawa malapetaka yang besar dan keji. Terlebih lagi bagi kaum hawa, anak-anak, orang lanjut usia. Pasalnya, baku hantam antara israel-palestina tak mengenal etika peperangan. Sudah tentu, tempat ibadah, ruang publik; rumah sakit, sekolah, jalan tak boleh menjadi sasaran insiden.

Namun, kuatnya keinginan untuk menguasai maka dengan serta merta sistem pelayanan publik pun harus ikut menjadi sasaran empuk.
Pendek kata, berperang melawan hawa nafsulah perang paling besar. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 21/12;24.45 wib

Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com