Wednesday, March 14, 2007

Ibunda

Mengapa Ibuku Menangis

Oleh Dalianur Hasba*

Seorang anak bertanya pada Tuhan,
“Tuhan, mengapa ibuku menangis ?”

Tuhan berkata, “Karena ibumu seorang
wanita.”

“Saat kuciptakan wanita, Aku
membuatnya menjadi sangat spesial.
Kuciptakan bahunya cukup kuat untuk
menahan beban dunia, walaupun bahu itu
harus cukup nyaman dan lembut.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat
melahirkan seorang anak sekaligus
kekuatan untuk menerima penolakkan
dari anaknya itu sendiri.

Kuberikan wanita keperkasaan untuk
membuatnya tetap bertahan saat semua
orang sudah putus asa.

Kuberikan wanita kesabaran untuk
merawat keluarganya walau letih dan
lelah tanpa berkeluh kesah.
Kuberikan wanita perasaan peka dan
kasih sayang untuk mencintai anak-
anaknya dalam kondisi dan situasi
apapun walau tak jarang anak-anaknya
itu melukai perasaan dan hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan
kehangatan pada bayi-bayi yang
terkantuk menahan lelap dan memberikan
kenyamanan sangat didekap dengan
lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk
membimbing suaminya melewati masa-masa
sulit dan menjadi pelindung baginya.
Bukankah tulang rusuklah yang
melindungi setiap hati dan jantung
agar tak terkoyak ?

Kuberikan wanita kebijaksanaan untuk
mengetahui bahwa seorang suami yang
baik tidak pernah menyakiti istrinya
walaupun kadang-kadang kebijaksanaan
itu menguji kekuatan dan kesetiaannya
dalam mendampingi suaminya.

Akhirnya kuberikan wanita air mata
agar dapat mencurahkan perasaannya.
Inilah yang khusus kuberikan kepada
wanita agar dapat digunakan kapanpun
ia inginkan.

Hanya inilah yang dimiliki wanita
walau sebenarnya ini adalah air mata
kehidupan.”

Diambil dari “Why my mom
crying ?”

Sumber http://delianur.blogs.friendster.com/my_blog/

*Penulis adalah Mantan Ketum PB PII periode 2004/2006.

Selengkapnya......

Teladan

Menjadi Guru Anak-Anak
Oleh Abdul Rauf

Banyak alasan mengapa kita perlu belajar pada anak. Mereka punya kepolosan dan kejujuran yang sudah sedikit 'asing' di dunia orang dewasa. Mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar (curiousity), sesuatu yang mulai berkurang pada orang dewasa karena terlalu sering mewajarkan sesuatu yang tidak biasa sekalipun. Dan bayak hal unik pada anak yang perlu kita renungkan dan dijadikan cermin. Singkat kata, saya bersetuju dengan tulisan di kolom ini pada minggu yang lalu. Sekarang, saya kira refleksi ini bisa (perlu) kita balik:seberapa banyak alasan bagi anak untuk 'berguru' pada kita.

Barangkali yang dimaksud dengan anak dalam tulisan ini berbeda dengan maksud yang dituju pada tulisan sebelumnya. Bagaimanapun, saya belum berkeluarga apalagi menjadi orang tua bagai seorang anak. Pun demikian, pengalaman menjadi dan berinteraksi dengan anak bukan monopoli para orang tua saja. Kembali ke soal, sebagai golongan sosial yang sudah bukan termasuk kategori anak, cukup banyakkah alasan kita untuk menjadi guru atau media belajar bagi anak?.

Dalam hidup sehari-hari, dalam konteks kebudayaan ada yang disebut dengan belajar budaya. kita lebih akrab dengan istilah teknisnya yaitu sosialisasi. Yang dimaksud bukan proses penyebaran informasi melainkan proses seseorang (anak) mengenal dan dikenalkan, belajar menghayati dan mengaplikasikan aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungannya. Dalam konteks perbincangan kita, seorang anak belajar tentang sikap yang seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan orang tua, kakak, pembantu dan hubungan-hubungan dengan orang di lingkungan yang lebih luas lagi. di sini, salah satu agen sosialisasi primer bagi anak-adalah keluarga. Contoh kecil, misalnya, seorang anak akan meminta bantuan kepada pembantu tidak kepada saudaranya jika anggota keluarga lain bersikap serupa. Dengan kata lain, sikap dan perlakuan kita terhadap pembantu akan jadi referensi bagi si anak.

Pada era informasi yang canggih sekarang ini, agen-agen sosialisasi mulai menggeser keluarga bahkan bisa jadi _untuk orang tua yang sibuk_mengambil alih perhatian anak. Adalah media,terutama televisi, telah menjadi guru favorit baru bagi anak-anak. Seibarat kotak pandora, baik-buruk tentang segala hal bisa diperoleh dengan mudah. Kerapkali muncul tak terbendung. keluarga sebagai kontrol kepatutan (norma) bagi anggotanya, disadari atau tidak, memeroleh saingan baru dalam proses belajar budaya. Bagi orang tua sibuk, televisi menjadi pengasuh paling setia ketimbang pengasuh sendiri. Meski demikian, toh televisi seakan-akan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Di sinilah persoalan muncul. Orang dewasa yang berada di balik televisi maupun konsumen televisi masih belum aware dan menjadi peduli untuk membuang_kalau tidak bisa, mengeliminir_ sisi negatif dari kotak pandora ini. Untuk ini kita bisa ambil contoh tentang tayangan drama kekerasan yang ditayangkan salah satu stasiun swasta yang bukan sekedar menanamkan benih kekerasan pada anak, bahkan sampai merenggut nyawa.

Jadi, masih banyakkah alasan bagi seorang anak untuk 'belajar' pada orang dewasa? Contoh yang dipaparkan tadi sebetulnya hanya salah satu saja. Saya rasa, persoalan utamanya adalah sejauh mana kita bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita. Orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Kakak bagi adiknya. Produsen media bagi halayak penontonnya. Dan tentu saja, pemimpin bagi rakyatnya. Wallaahu a'lam.

Sumber http://dulur.blogs.friendster.com/my_blog/

*Penulis adalah Mantan Ketum PD PII Kab Bandung periode 2003/2004. Kini, sedang menyelesaikan kuliah di jurusan Antropologi Unpad.

Selengkapnya......

Ngeja PII

Sekedar Pelajar Islam Indonesia (PII)
Oleh Adinda Ihsani Putri

whoo...gimana ya nyeritain PII...
jadi dulu gw pas smp kelas 2, diajak bonyok ikut training di Cicalengka...yang kebayang, kayak training2 nya PAS Salman gitu...pas dateng, pemandangan yang didapetnya, gedung sekolah tua, kotor, angker, banyak orang yang gayanya unik dan gw gak kenal...ternyata Leadership Basic Training...
penderitaan yang punya makna besar...secara gw dulu manja banget ma umi-abi (bonyok)gw...gw dikirimin tiker, selimut, susu...padahal orang2 disana pada bawa baju aja paling ma alat tulis...gw merasa parah waktu itu...diskusi demi diskusi gw lewatin...walaupun aneh, masa gw harus diadu ngomong ma anak SMA, kuliahan...beurat...tapi akhirnya gw beresin seminggu disana...
kenal Iqbal...anak tasik yang ngasih gw impression disana...walaupun dah ngilang tah kmana...
kenal Eksa, Bang Jay...dan ternyata gw pertama kali ketemu ma my last (amiin) disana juga...tapi dulu gw blom kenal...kenal banyak lah...
gw ikut bareng uki (abang), ucan, fia (sepupu) dan ita (sodara jauh) gw...
trus...6 bulan kemudian gw ikut Latihan MAnajemen Dasar...di Bandung...seneng banget...gw wktu itu lagi di PK Coblong...PK yang garing...tapi mutu lah gara2 orang2nya keren2...haks...
2003 gw jadi ketua korda PII Wati Kota Bandung...awal tahunnya, gw ikut Leadership Intermediate Training...inloknya Ka Erlan...disitu gw mulae bkenal2 ma Imron...dst..sst...it's private!
2004 gw jadi kabid internal...2005 ikut SDPN di jogja...ikut Konwil juga di TAsik...masuk deh ke PW PII Jabar...ketuanya namanya Masdum...
sempet ikut banyak kegiatan...simple sih...tapi mutu...gw ngerasa banyak belajar banyak...
tapi sekarang2 gw lagi bad mood di PII...yah...itu masalahnya...bosenkah? atau apa ya? kayaknya gw aja yang lagi ngaco...forget it!
pokoknya ni organisasi keren bgt! the best ever!
oia, gw pnah ke Ambon gara2 kut Muknasnya PII lho...asik...

sumber http://ndajugasemesta.blogs.friendster.com/nda_adin_ndaduth_teteh_ay/

*Penulis Pengurus PW PII Wati Jabar. Kini, sedang kuliah di ITB

Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com