Monday, April 23, 2007

Pendidikan Alternatif

Pendidikan Religius
Oleh : Hakey*


Saya merasa sedikit tercengang sekaligus ta’jub ketika seorang teman menyuruh kepada saya untuk sekedar membaca sebuah kolom kesehatan yang ada di Gatra edisi pertengahan ramadhan yang lalu. Seorang dosen dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negri (atau biasa disebut dengan IAIN) Sunan Ampel, yang beliau juga adalah seorang dokter lulusan FK UNAIR.

Melakukan sebuah riset kepada 41 siswa sekolah menengah di sebuah lembaga pendidikan yang terletak di kota Surabaya. Ke 41 siswa tadi diminta oleh sang dokter untuk menjalani shalat tahajjud setiap malamnya selama sebulan. Dari 41 siswa yang di minta tadi hanya ada 23 siswa yang bisa bertahan untuk menjalani rutinitas ritual shalat malam tersebut. Ke 23 siswa yang masih tetap bisa konsis untuk menjalankan tahajjudnya dengan ikhlas tersebut dianjurkan untuk kembali shalat tahajjud setiap malamnya pada bulan berikutnya untuk diadakan test tahap kedua. Yang dapat berhasil lolos test pada tahap kedua sebanyak 19 siswa.

Setelah para siswa melakukan ibadah shalat tahajjud, sang dokter kemudian memeriksa sample darah yang ada dalam tubuh para siswa . Salah satu yang menjadi objek observasi sang dokter adalah hormon kortisol. Hormon ini berkaitan dengan stress yang melanda manusia. Apa hasilnya? ternyata siswa yang telah melakukan shalat tahajjud mengalami penurunan hormon kortisol, baik yang melaksanakan tahajjud di bulan pertama apalagi mereka yang melaksanakan sesuai anjuran sang dokter selama dua bulan berturut-turut.

Tentunya grafitasi penurunannya juga berbeda. “Ini berarti tahajjud menurunkan tingkat stress yang melanda manusia” demikian paparan sang dokter. Subhanallah, sunnah rasul yang agung itu ternyata begitu dalam hikmahnya. Sebagaian manusia yang kurang peka serta tersirami oleh nilai-nilai spiritual islam mungkin menganggap bahwa bangun untuk berwudhu dan shalat di akhir malam hanyalah sebuah pekerjaan yang melelahkan serta mengganggu kenyamanan tidur saja. Tapi itulah islam,sebuah risalah suci yang benar-benar mengatur serta membawa manusia kepada sebuah tatanan yang benar-benar manusiawi. Ketika manusia di abad yang serba modern dan canggih ini sibuk mencari solusi untuk hanya menghilangkan rasa jenuh dan stress akibat kesibukan mereka setiap harinya,dengan rekreasilah, berpetualanglah, memancinglah, mendengarkan musiklah, main gamelah, atau kegiatan-kegiatan yang lain. Maka islam telah memberikan solusi itu sejak 14 abad yang lalu.

Coba sejenak kita menulusuri kehidupan bapak reformis dunia, Muhammad SAW.kejujuran, kebijaksanaan, budi pekerti, kehalusan tutur kata, perangai baiknya tidaklah ada yang meragukannya. Bahkan dalam buku yang versi bahasa indonesianya adalah “Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah” ditulis oleh Michael H. Hart (seorang non muslim) mencantumkan nama Muhammad SAW sebagai orang pertama yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia, bukan Isaac Newton ataupun Isa yang di percaya oleh kaum Nasrani sebagai anak Tuhan dan dia juga adalah Tuhan bagi mereka.

Padahal secara populasi, ummat kristiani di seluruh dunia ini lebih banyak jumlahnya di bandingkan ummat Muhammad SAW. Tapi itulah fakta yang ada. Keberhasilan nabi akhir zaman itu tentulah tidak bisa lepas dari sebuah “pendidikan rabbani” yang beliau terima lewat perantara malaikat Jibril alaihissalam. Sebuah lembaga pendidikan yang di bimbing langsung oleh Dzat Maha Agung. Sang pemilik kerajaan bumi dan langit serta segala yang ada di dalamnya. Apakah beliau orang yang kerjanya cuman nganggur-nganggur aja, tidak sesibuk para pengusaha profesional yang ada di zaman kita sekarang? tentulah tidak, beliau adalah seorang yang memenangkan perang badar, beliau juga seorang yang melakukan “fathu makkah”, beliau jugalah sang “founding father” negara Madinah yang ada pada waktu itu. Pada masa remaja beliau juga seorang pengembala biri-biri yang sangat cekatan, seorang pedagang yang amatlah profesional. Pada awal-awal karirnya meniti jalan kenabian juga beliau tidak luput dari caci-maki serta sumpah-serakah yang di gembar-gemborkan oleh para pemuka suku bangsa Quraisy yang amatlah membenci risalah kenabiannya. Dituduh sebagai seorang penipu, diklaim sebagai orang gila, serta banyak ejek-ejekan yang cukup memerahkan telinga yang beliau terima. Apakah beliau mengalami stress seperti para pengusaha yang tutup modal dikarenakan perusahaan yang di kelolahnya bangkrut?

Islam mengajarkan kepada seluruh ummatnya untuk tetap menyeimbangkan dua sisi kehidupan yang berbeda, sebuah keseimbangan yang sangatlah harmonis. Memerintahkan kepada kita untuk mencari apa yang ada di dunia seakan-akan kita akan hidup untuk selamanya (tentunya dengan cara yang telah diajarkan), tak lupa pula memerintahkan kepada kita untuk selalu memompa semangat ruhani, mencari bekal-bekal amal dengan ibadah dan bertafakkur kehariba’an ilahi rabbi, seakan-akan ajal akan menjemput kita esok hari. Dari itu dapat di ambil kesimpulan bahwa, islam memerintahkan kepada kita untuk selalu mencari kebaikan-kebaikan yang ada di alam raya ini. Belajar, menuntut ilmu, mengerti tentang alam, tentang manusia, serta pelajaran-pelajaran yang bisa di ambil dari jagat raya ini, tentunya dengan memaksimalkan akal pemberian Tuhan. Disisi yang lain islam juga menganjurkan kita untuk selalu menjaga hati, sebuah titik pusat segala aktivitas manusia itu muncul, sebuah organ yang sangat unik, mampu mengangkat derajat anak adam melibihi derajat malaikat, serta sanggup untuk menjerumuskanya pada derajat yang lebih rendah daripada hewan.

Sebuah pendidikan yang luar biasa mulia, akankah kita, orang-orang yang telah mendapatkan nikmat beragama islam akan mencari pendidikan-pendidikan yang lain ? Wallahu a’lam.

*Mahasiswa Al-Azhar

Selengkapnya......

Pendidikan Tercoreng

IPDN, Cermin Gagalnya Reformasi Pendidikan
oleh Mohammad Yasin Kara

Kekerasan yang terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang,

merupakan cermin gagalnya program reformasi pendidikan nasional. Kekerasan yang menyebabkan meninggalnya Cliff Muntu, seorang praja berusia 19, oleh kalangan seniornya adalah fakta sosiologis gagalnya pemerintah dalam menerjemahkan visi masa depan pendidikan nasional--dalam korelasinya dengan proses pembangunan bangsa dan terbentuknya peradaban umat manusia secara universal.

Masalahnya bukan kali ini saja kekerasan di luar batas kemanusiaan di IPDN itu terjadi. Tapi mengapa pemerintah tidak bisa membangun solusi alternatif dalam menangani masalah ini. Persoalannya cukup fundamental, praja-praja yang tengah dibina di IPDN adalah calon pejabat negara yang akan meneruskan perjuangan pembangunan masa depan bangsa.


Sebelum meninggalnya Cliff Muntu, tidak kurang dari 11 praja harus dirawat di rumah sakit karena terlibat perkelahian pada 1 Maret 2005 di IPDN. Sementara itu, pada 16 Oktober 2004, kekerasan oleh praja senior menimpa Ichsan Suheri, bahkan pada 3 September 2003, Wahyu Hidayat meninggal akibat dianiaya sebagaimana halnya Cliff Muntu. Demikian halnya dengan kematian Ery Rahman pada 3 Maret 2000, yang merupakan korban kalangan praja senior di IPDN itu.

Sangat mengerikan, karena bisa jadi data di atas ini sekadar puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan. Kasus kekerasan yang sebenarnya di IPDN itu mungkin saja sudah sangat kronis, sehingga sangat sulit dibenahi kembali. Bisa jadi para pendidik di lingkungan IPDN tersebut menganggap kekerasan yang terjadi selama ini hanyalah fenomena biasa, "ritual" balas dendam yang terjadi turun-temurun. Buktinya, banyak sekali kasus di luar batas kemanusiaan terjadi tanpa ada upaya perbaikan yang memadai.

Hasil penelitian terkait dengan masalah ini menunjukkan data yang sangat mengejutkan. Disinyalir, semenjak 2000 hingga 2004, diperoleh data adanya pergaulan seks bebas dalam 600 kasus, 35 kasus penganiayaan berat, 9.000 penganiayaan ringan, dan ada 125 praja yang terlibat penggunaan narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba). Data ini memperkuat argumentasi betapa program reformasi pendidikan nasional kita itu telah gagal. Boleh jadi kasus serupa sebenarnya juga terjadi dalam banyak institut atau universitas lainnya di negeri ini, tapi belum terkuak ke permukaan.

Membangun paradigma baru

Digabungnya Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) menjadi IPDN pada 2004 ternyata tidak mampu membangun paradigma baru bagi lembaga pendidikan ini. Mengapa mereka (pihak-pihak yang terkait dengan lembaga pendidikan ini, terutama pemerintah) tidak mampu melakukan perubahan? Saya berpandangan bahwa kasus kekerasan yang terjadi dan terus terulang di lembaga pendidikan ini sudah sangat kronis dan kompleks. Kesalahan awal terletak pada dangkalnya pemikiran para stakeholder saat dilakukan perubahan pada dua lembaga pendidikan ini. Pemerintah ternyata hanya melakukan perubahan pada aspek nama/institusi, bukan pada level kerangka pemikiran yang secara paradigmatik bersifat substantif.

Akibat perubahan yang lebih bersifat simbolis inilah, kekerasan yang telah turun-temurun terjadi tidak terhindarkan dari waktu ke waktu. Karena itu, pemerintah dan semua pihak yang terkait dengan masalah ini mesti segera melakukan pengkajian ulang yang lebih mendasar guna menemukan pokok persoalan yang bersifat mendasar dan komprehensif. Jika tidak, kekerasan demi kekerasan dan berbagai perilaku sosial yang tidak berperikemanusiaan akan terus terjadi dan terulang dalam rentang waktu yang tidak terbatas.

Pertanyaannya, paradigma baru seperti apa yang mesti dibangun guna menghindari terulangnya kasus-kasus serupa di masa mendatang? Ada beberapa persoalan/pokok pemikiran yang perlu diuraikan berikut ini.

Pemerintah dan semua pihak yang terkait mesti segera melakukan identifikasi masalah secara detail dan komprehensif terhadap masalah-masalah yang selama ini terjadi. Misalnya, mengapa terjadi penganiayaan secara fisik atau mengapa ada pendidikan yang menekankan aspek fisik? Bukankah IPDN adalah lembaga pendidikan nonmiliter?

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan ini mesti dikumpulkan sebagai instrumen analisis bagi kemungkinan untuk membangun paradigma baru di kemudian hari. Demikian halnya dengan kasus-kasus lain yang terjadi di lembaga pendidikan itu, baik pelecehan seksual, seks bebas, maupun keterlibatan mereka dalam narkotik, yang jelas-jelas melanggar hukum. Semua aspek ini penting berkenaan dengan posisi mereka sebagai calon pejabat negara yang diharapkan melanjutkan perjuangan pembangunan bangsa ini di kemudian hari.

Pertanyaan mendasar lainnya, siapa yang paling bertanggung jawab atas berbagai permasalahan yang terjadi di IPDN itu? Mengikuti filosofi kematian ikan, biasanya yang busuk terlebih dulu adalah kepalanya. Filosofi kematian ikan ini hendak menjelaskan bahwa kasus-kasus di IPDN itu terjadi karena adanya kesalahan pada tingkat pengambilan kebijakan (stakeholder).

Berpijak pada penjelasan ini, pengusutan secara tuntas adalah satu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Siapa pun yang terlibat kasus ini mesti dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Berkaitan dengan kasus yang dapat dibilang cukup parah ini, sudah saatnya pemerintah, terutama Presiden, menunjukkan taringnya yang kuat dan perkasa untuk bersikap lebih tegas, menindak semua pihak yang terlibat dan mencari solusi alternatif pendidikan yang lebih baik di masa depan.

Pembubaran IPDN

Melihat data dan fakta terkait dengan banyak kasus yang terjadi di IPDN selama ini, banyak kalangan kemudian mengusulkan agar lembaga pendidikan (IPDN) itu dibubarkan saja. Usul pembubaran ini bukannya tidak beralasan. Mereka berpandangan bahwa kekerasan yang terjadi dan terus terulang di IPDN telah mencoreng atau mencemarkan nama baik dunia pendidikan. Lebih dari itu, lembaga ini (IPDN dan juga dua lembaga sebelumnya, STPDN dan IIP) dapat dinilai gagal dalam mempersiapkan calon pejabat negara yang berkualitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya pejabat negara yang terlibat berbagai perilaku korupsi selama ini. Memang perlu ada penelitian untuk membuktikan hal itu.

Karena itu, menanggapi gagasan pembubaran IPDN itu, pemerintah mesti membuktikan kepada publik, apakah betul negara memang sangat membutuhkan sistem pendidikan dengan lembaga tersendiri bagi para calon pejabat negara, setelah kini terbukti sekolah itu tidak memberi pelajaran baik bagi masa depan pembangunan bangsa ini? Jika memang tidak perlu, layaklah IPDN itu dibubarkan. Sementara itu, rekrutmen bagi calon pejabat negara sebaiknya dilakukan secara umum melalui penambahan materi khusus di berbagai universitas yang sudah ada. Dengan demikian, berarti negara telah berupaya menyelamatkan banyak generasi dari kekerasan yang telah terfragmentasi di IPDN selama ini. Pada sisi lain, hal ini juga bisa menghemat tenaga dan biaya serta memacu kompetensi anak didik secara lebih sehat di masa depan.

Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA KOMISI X DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI, SEKRETARIS FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL

*sumber kompas 10/04/07

Selengkapnya......

Pluralisme

Merayakan Pluralisme Islam
Oleh Syafiq

Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik.

”… Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sejumlah sistem yang berkembang di kalangan mereka, seperti aspek sosial, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, politik, dan bahasa,” demikian Khalil Abdul Karim dalam sekapur sirih untuk karyanya Al-Judzur al-Tarrikhiyyah li al-Syari`ah al-Islamiyyah. Dalam karya bombastisnya itu, Khalil Abdul Karim menguak beberapa praktik ajaran Islam yang diadopsi dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Praktik poligami, penentuan seperlima dalam pembagian hasil rampasan perang, perbudakan, syura (musyawarah), kekhalifahan dan sebagainya bukan merupakan ajaran Islam yang pure dari langit. Dalam hal ini, Ali Abdul Raziq benar ketika mengatakan dalam bukunya Al-Islam wa Ushul al-Hukm bahwa kekhalifahan bukan merupakan ajaran Islam.

Bahkan, Khalil juga berkesimpulan bahwa sebagian praktik ritual dalam Islam merupakan kelanjutan belaka dari ritual masyarakat Arab yang berumur ribuan tahun. Ia mencontohkan tradisi pengagungan Ka`bah dan Tanah Suci Mekkah, prosesi Haji dan Umrah, sakralisasi bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram (al-Asyhur al-Hurum/ Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), penghormatan kepada Ibrahim dan Ismail sehingga umat Islam disunahkan sembahyang dua rakaat di maqam Ibrahim tatkala menunaikan ibadah Haji, dan kebiasaan berkumpul pada hari Jumat untuk menunaikan salat Jumat.

Kenyataan ini tidak berarti Islam melulu bersifat lokalistik. Di dalam Islam juga terkandung nilai-nilai universalitas karena Islam meneguhkan dirinya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang bertujuan mencerahkan kegelapan umat manusia, bukan agama rahmatan lil ‘arabiyyin (membawa rahmat hanya untuk orang Arab). Karenanya, penerimaan Islam akan unsur-unsur budaya lokal tidak dilakukan secara mentah atau telanjang, melainkan mengadopsi dan memodifikasinya dalam semangat Islam. Virus paganisme yang bersarang dalam ritus-ritus lokal disapu-bersih dan unsur dehumanitas dalam tradisi masyarakatnya secara perlahan diamputasi. Lokalitas hanyalah kulit luar yang berfungsi sebagai pengemas universalitas yang merupakan inti ajaran Islam.
Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik. Arabisme Islam ini nampak dalam penggunaan bahasa Arab oleh al-Quran dan narasi al-Quran yang bercerita tentang kondisi soio-kultural masyarakat Arab.

Namun, Arabisme Islam merupakan konsekuensi logis semata karena Islam tidak turun dalam masyarakat yang hampa budaya, tidak juga di luar kawasan Arab, melainkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang kaya akan tradisi warisan leluhur. Sikap Islam yang sangat akomodatif terhadap panorama budaya lokal ini menyiratkan pesan bahwa Islam harus dibumikan dengan mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom).

Lokalitas merupakan suatu keniscayaan karena tanpanya, universalitas yang menjadi inti ajaran Islam tidak akan pernah punya arti apa-apa lantaran ia tidak membumi. Universalitas dan lokalitas ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Universalitas Islam mustahil dipahami di luar konteks lokalitas. Tentu, sejarah akan bercerita lain jika Islam mengabaikan aspek lokalitas Arab di era pertumbuhannya. Sejarah tidak akan pernah mengenang kebesaran Islam jika Alquran tidak menggunakan bahasa Arab atau tidak bertutur mengenai keadaan masyarakat Arab. Mungkin Islam akan dikenal sebagai pengisi cerita di waktu senggang dalam bentangan hikayat sejarah Arab.
Ketika Islam mendarat di Bumi Nusantara pada abad VII M dan mengalami pertumbuhan yang cukup serius sekitar abad XIV hingga menjadi agama mayoritas, kesuksesan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kecanggihan negosiasi budaya yang digerakkan oleh para penyebar Islam Nusantara. Drama penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo misalnya, prosesnya tidak dilakukan dengan memotong urat nadi tradisi masyarakat Jawa, sekalipun tradisi tersebut berbau animistik- Hinduistik. Tegasnya, cara-cara Wahabistik tidak dikenal dalam kamus penyebaran Islam Jawa.
Wali Songo tidak menghancurkan tembok kuburan, tidak pula menganjurkan rakyat Jawa untuk memakai gamis, memelihara jenggot atau mengenakan jilbab bagi perempuan Jawa. Tapi, Wali Songo malah mengarifi budaya lokal setempat dengan menjadikannya sebagai instrumen penyebaran Islam seperti dipraktikkan oleh Sunan Kali Jaga yang memanfaatkan wayang untuk menarik massa agar masuk Islam. Di luar Jawa, Islamisasi juga berlangsung dalam rel kearifan lokal sehingga Islam bisa diterima secara luas oleh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa disertai pertumpahan darah.
Kemunculan Islam dengan identitas keindonesiaan yang sangat berlainan dengan Islam Timur Tengah (baca: Arab) tentu merupakan fakta yang absah dan harus dipandang secara apresiatif sebagai sesuatu yang wajar, bukan hal yang menyimpang. Pluralisme dalam skala mikro seperti ditunjukkan oleh keberadaan Islam Kejawen, Islam Dayak, Islam Samin, Islam Sasak dan seterusnya yang dalam banyak segi berbeda haluan dengan Islam masa awal yang Arabsentris, tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang mengada-ada atau heuretik.

Dalam kerangka ini, gerakan puritanisasi yang digelar oleh sejumlah ormas Islam tentu merupakan aksi pengingkaran atas watak Islam yang pluralis. Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.

Kesulitan membedakan antara Islam dan Arabisme merupakan penyakit akut yang melanda kebanyakan umat Islam di dunia. Kegagalan memisahkan keduanya berimplikasi pada pemahaman bahwa Islam itu satu, yakni Islam Arab. Pluralisme Islam akan dipandang sebagai bid`ah. Kelekatan Islam dengan Arabisme ini telah berlangsung sedemikian jauh sehingga muncul pandangan bahwa kadar keislaman seseorang diukur dari seberapa kental nuansa Arabisme yang mewarnai perilaku keagamaannya. Berdoa dengan bahasa Arab dipandang lebih ”Islam” ketimbang menggunakan bahasa selain Arab (Ajam). Orang yang memakai gamis atau perempuan berjilbab akan dipandang sebagai seorang muslim sejati dibanding dengan yang lain.

Sepanjang kita gagal memisahkan antara Islam dan Arabisme, maka ada tiga hal yang muncul: Pertama, kegagalan menangkap pesan Islam yang sejati yang terkandung dalam aspek universalitasnya. Kedua, runtuhnya proyek pluralisme Islam, dan Ketiga, matahari peradaban Islam akan selalu terbit di dunia Arab karena dipandang sebagai representasi Islam yang paling absah. Usaha mengalihkan peradaban Islam dari tanah kelahirannya ke Tanah Air misalnya, hanyalah sebentuk angan-angan, meskipun potensi bangsa Indonesia untuk meneguhkan diri sebagai matahari peradaban Islam sangatlah memungkinkan karena ditunjang oleh watak Islam Indonesia yang –meminjam istilah Fazlur Rahman- lebih terbuka, demokratis dan egaliter dibanding Islam yang tumbuh di kawasan lain, serta didukung besarnya jumlah pemeluk agama Islam yang melampaui eskalasi umat Islam di penjuru dunia manapun.

Dus, Islam dan Arabisme harus dibedakan sehingga pluralisme Islam bisa dirayakan. Islam tidak pernah seragam. Ia beragam karena teramat akomodatif terhadap warna-warni budaya lokal sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah perkembangannya. Pluralisme Islam adalah keniscayaan karena Tuhan menghendaki demikian. []

*Penulis aktifis PII Jakarta dan Kuliah di Paramadina Mulya.

Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com