Monday, July 2, 2007

Brigade PII

Belajar Berdemokrasi
Oleh HASAN SYUKUR

ADA sebuah cerita menarik. Konon, keberhasilan Indonesia dalam menyelesaikan masalah GAM di Helsinki karena Jusuf Kalla, Wapres RI yang memimpin delegasi Indonesia, menggunakan pendekatan PII. Boleh jadi cerita ini benar. Jusuf Kalla adalah bekas aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) Sulawesi Selatan yang kini menjadi Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Keluarga Besar PII. Di lain pihak, Hasan Mohammad Tiro dan para petinggi GAM lainnya, adalah bekas aktivis PII Aceh.

Dengan pendekatan itu akhirnya delegasi Indonesia bisa ”menjinakkan” gerakan separatis itu. GAM menerima solusi perdamaian. Kamis (27/4) para petinggi GAM bertamu ke Istana Wapres. Mereka menyatakan, secara alami GAM akan membubarkan diri.

Prestasi monumental ini tidak lepas dari visi dan misi organisasi pelajar ini. Dalam perjalanannya, PII memang selalu seiring dengan perjalanan sejarah perjuangan bangsa. PII bersama-sama unsur dan kekuatan bangsa Indonesia lainnya selalu berdiri di garis terdepan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak awal, organisasi ini memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya terhadap agama, bangsa dan negara serta keyakinannya akan kebenaran Islam dalam menciptakan masyarakat adil, sejahtera tenteram dan damai yang diridai Allah SWT. (baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur).

Untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa misalnya, pada awal kebangkitannya mendirikan ”Brigade PII”. Dalam resepsi Harba PII ke-1 tanggal 4 Mei 1948, Panglima Besar Jenderal Soedirman hadir dan memberikan sambutan, ”Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang diberikan oleh PII kepada negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII, negara kita adalah negara baru, di dalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia,” katanya.

Dalam menghadapi pemberontakan Gestapu/PKI tahun 1965 bersama ABRI dan kekuatan lainnya merupakan kekuatan utama dalam menumpas pemberontakan tersebut. PII menjadi pelopor dan kekuatan utama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Dalam pengembangan wawasan dan intelektual, PII organisasi pelajar pertama yang menjalin kerja sama tukar- menukar pelajar dengan Amerika Serikat melalui American Field Service (AFS). Alumninya, antara lain Z.A. Maulani, Taufiq Ismail, Dawam Rahardjo, Arief Rahman, Tanri Abeng, dan Sugeng Sarjadi.

Kamis 4 Mei organisasi ini genap berusia 59 tahun. Peringatan berdirinya PII biasa disebut Hari Bangkit (Harba). Tak ada upacara seremonial. Biasanya cukup mengucapkan rasa syukur diiringi dengan doa, agar kiprah PII di masa depan lebih bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara. Upacara memperingati ulang tahun dengan pesta bukan tradisi PII. Landasan berdirinya organisasi yang mempersatukan santri di pondok-pondok pesantren dan sekolah umum itu adalah Q.S. Ali Imron :104 : ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang munkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sejak organisasi pelajar ini didirikan di Yogyakarta 4 Mei 1947 sampai kini sudah banyak kader yang dihasilkan oleh PII. Mereka tersebar di berbagai lini di kota-kota sampai ke desa-desa di seluruh Indonesia, berperan sebagai perekat umat. Ada K.H. Hasyim Mujadi, Ketua PB NU, ada Prof. Dr. Din Syamsudin, Ketua PP Muhammadiyah, ada Jusuf Kalla, Ketua DPP Golkar dan Wapres RI, ada Dr. Hidayat Nurwahid bekas Presiden PKS dan kini Ketua MPR RI, ada Moh. Husni Thamrin, Wakil Ketua DPR RI, ada Taufiq Ismail, penyair, ada Dahlan Iskan ”raja Koran” Grup Jawa Pos. Di Kabinet Indonesia Bersatu tercatat sedikitnya 9 menteri, antara lain, Sudi Silalahi, Sofyan Djalil dan Maftuh Basyuni, plus Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Mereka berperan aktif dalam pembangunan umat Islam dan bangsa Indonesia. Agar peran mereka dapat meningkat dan lebih efektif serta berdaya guna, kini mereka dihimpun dalam Perhimpunan Keluarga Besar PII. ( Perhimpunan KB PII) pada 23 Mei 1998 di Jakarta. Perhimpunan ini berakidah Islam dan berasas Pancasila. Dengan tujuan tercapainya kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam bagi bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia.

Ketua perhimpunan pertama, terpilih Letjen Z.A. Maulani bekas Ketua Pangdam Tanjungpura dan Kepala Badan Kontak Intelijen Negara (Kabakin) pada periode Presiden B.J. Habibie. Beliau memimpin organisasi ini dua periode, sampai wafatnya beberapa bulan lalu. Kini Perhimpunan KB PII dipimpin oleh Prof. Dr. Ryaas Rashid, bekas Menteri Otda. Ryaas mantan Ketua PII Cabang Bone, Sulawesi Selatan.

Nama PII tidak bisa lepas dari sosok Mohammad Joesdi Ghazali. Dialah orang yang mendapatkan ide lahirnya organisasi pelajar ini. Ceritanya, 25 Februari 1947, di tengah malam yang sunyi, ia bersujud di Masjid Kauman, Yogyakarta. Dalam benaknya sedang menggagas untuk membuat sebuah organisasi yang menampung kegiatan pelajar muslim. Tapi tidak tahu harus dengan nama apa. Maka, pada saat tahajud itulah ia mendapatkan nama ”Pelajar Islam Indonesia”.

Agama dan negara menjadi bagian latar belakang berdirinya PII. Perdebatan politik tentang dasar negara sedang menjadi isu sentral pada waktu itu. Agama dipahami oleh mayoritas masyarakat bagian yang terpisah dari negara (sekularisme). Alam pemikiran dikotomis yang memisahkan antara keduniaan dan dan keakhiratan ini adalah warisan penjajah Belanda. Alam pemikiran sekularis ini diwariskan kepada bangsa Indonesia, karena bagi penjajah sekularisasi itu sangat menguntungkan.

Yang menjadi keprihatinan Joesdi adalah warisan pola pikir sekuler itu telah membias pada masyarakat pelajar. Sehingga antara pelajar sekolah umum dan pelajar santri (pondok pesantren) saling berolok. Dengan demikian, bagaimana umat Islam akan menang untuk dapat membangun bangsa dan negara kalau sejak masa pelajarnya saja sudah terpecah belah, pikirnya.

Joesdi menginginkan agama dan negara bukan sesuatu yang terpisah. Karena itu dikembangkan pemikiran, bahwa ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan keduniaan itu adalah satu. Dari pemikiran itu, diharapkan PII akan dapat melahirkan kader intelek yang kiai dan kiai yang intelek. Joesdi mengembangkan pemikiran yang integral sebagaimana yang populer sekarang penguasaan imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan ilmu teknologi). Di samping itu pada waktu itu sudah berkembang pemikiran yang khilafiah. Joesdi berusaha mengeliminasinya. Ternyata pemikiran ini diterima berbagai pihak. Dengan demikian PII merupakan organisasi lintas aliran dan pemahaman yang independen.

Entah sudah berapa juta anak bangsa ini yang telah tersentuh oleh PII. Secara kuantitatif memang tidak ada data yang pasti. Tapi dilihat dari penyebarannya yang merata ke seluruh penjuru tanah air, PII telah menyumbangkan kader-kadernya kepada bangsa dan negara. Produktivitas kader itu dimungkinkan oleh berbagai training mulai Mapratta (Masa Pra Penerimaan Anggota), leadership training, Student Work Camp (Perkampungan Kerja Pelajar), Mental Training (Mentra) dan Leadership Advance Training.

Training-training ini merupakan wahana demokrasi, dimana setiap peserta dirangsang untuk mengekspresikan dirinya, dalam topik-topik diskusi, berani berpendapat, tapi juga siap menghargai perbedaan pendapat. Itulah hakikat demokrasi Inilah jantung kehidupan PII. Jasa terbesar PII adalah memperkenalkan anak umat akan perjuangan dan pengabdian pada agama dan bangsa. Dalam berbangsa, Islam tidak bisa dikedepankan hanya dengan ideologi dan simbol-simbol. Sejatinya agama adalah membangun peradaban manusia di muka bumi. Inilah kuncinya, kenapa kader PII ada di mana-mana. Pantang putus tali silaturahmi meski berbeda pendapat. Barangkali inilah makna Hadis Nabi, ”Pebedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat.” Joesdi telah memulainya sejak 59 tahun silam.

Kini santri yang menamatkan kuliah di Harvard University Amerika Serikat itu tidak menyaksikan lagi hasil gagasannya. Menjelang usia PII tepat setengah abad (Hari Bangkit -Harba- ke-50), beliau meninggalkan kita, tepatnya 11 Maret 1997. Selamat Hari Bangkit PII ! Semoga perananmu tetap menjadi kader-kader bangsa yang rahmatan lil alamin, subjek dinamis yang mampu mengarahkan arah tujuan bangsa menuju terwujudnya masyarakat baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur.***

Penulis, wartawan senior, Ketua Kajian Sosial Politik Perhimpunan KB PII Jawa Barat.

1 comment:

husain kaleya said...

Duhai saudara saudaraku pelajar islam indonesia,,, saatnya berjihad melawan korupsi KPK membutuhkanmu duhai pusaka negeri Brigade P.I.I

 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com