Wednesday, March 14, 2007

Teladan

Menjadi Guru Anak-Anak
Oleh Abdul Rauf

Banyak alasan mengapa kita perlu belajar pada anak. Mereka punya kepolosan dan kejujuran yang sudah sedikit 'asing' di dunia orang dewasa. Mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar (curiousity), sesuatu yang mulai berkurang pada orang dewasa karena terlalu sering mewajarkan sesuatu yang tidak biasa sekalipun. Dan bayak hal unik pada anak yang perlu kita renungkan dan dijadikan cermin. Singkat kata, saya bersetuju dengan tulisan di kolom ini pada minggu yang lalu. Sekarang, saya kira refleksi ini bisa (perlu) kita balik:seberapa banyak alasan bagi anak untuk 'berguru' pada kita.

Barangkali yang dimaksud dengan anak dalam tulisan ini berbeda dengan maksud yang dituju pada tulisan sebelumnya. Bagaimanapun, saya belum berkeluarga apalagi menjadi orang tua bagai seorang anak. Pun demikian, pengalaman menjadi dan berinteraksi dengan anak bukan monopoli para orang tua saja. Kembali ke soal, sebagai golongan sosial yang sudah bukan termasuk kategori anak, cukup banyakkah alasan kita untuk menjadi guru atau media belajar bagi anak?.

Dalam hidup sehari-hari, dalam konteks kebudayaan ada yang disebut dengan belajar budaya. kita lebih akrab dengan istilah teknisnya yaitu sosialisasi. Yang dimaksud bukan proses penyebaran informasi melainkan proses seseorang (anak) mengenal dan dikenalkan, belajar menghayati dan mengaplikasikan aturan-aturan sosial yang berlaku di lingkungannya. Dalam konteks perbincangan kita, seorang anak belajar tentang sikap yang seharusnya dilakukan ketika berhubungan dengan orang tua, kakak, pembantu dan hubungan-hubungan dengan orang di lingkungan yang lebih luas lagi. di sini, salah satu agen sosialisasi primer bagi anak-adalah keluarga. Contoh kecil, misalnya, seorang anak akan meminta bantuan kepada pembantu tidak kepada saudaranya jika anggota keluarga lain bersikap serupa. Dengan kata lain, sikap dan perlakuan kita terhadap pembantu akan jadi referensi bagi si anak.

Pada era informasi yang canggih sekarang ini, agen-agen sosialisasi mulai menggeser keluarga bahkan bisa jadi _untuk orang tua yang sibuk_mengambil alih perhatian anak. Adalah media,terutama televisi, telah menjadi guru favorit baru bagi anak-anak. Seibarat kotak pandora, baik-buruk tentang segala hal bisa diperoleh dengan mudah. Kerapkali muncul tak terbendung. keluarga sebagai kontrol kepatutan (norma) bagi anggotanya, disadari atau tidak, memeroleh saingan baru dalam proses belajar budaya. Bagi orang tua sibuk, televisi menjadi pengasuh paling setia ketimbang pengasuh sendiri. Meski demikian, toh televisi seakan-akan menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Di sinilah persoalan muncul. Orang dewasa yang berada di balik televisi maupun konsumen televisi masih belum aware dan menjadi peduli untuk membuang_kalau tidak bisa, mengeliminir_ sisi negatif dari kotak pandora ini. Untuk ini kita bisa ambil contoh tentang tayangan drama kekerasan yang ditayangkan salah satu stasiun swasta yang bukan sekedar menanamkan benih kekerasan pada anak, bahkan sampai merenggut nyawa.

Jadi, masih banyakkah alasan bagi seorang anak untuk 'belajar' pada orang dewasa? Contoh yang dipaparkan tadi sebetulnya hanya salah satu saja. Saya rasa, persoalan utamanya adalah sejauh mana kita bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita. Orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Kakak bagi adiknya. Produsen media bagi halayak penontonnya. Dan tentu saja, pemimpin bagi rakyatnya. Wallaahu a'lam.

Sumber http://dulur.blogs.friendster.com/my_blog/

*Penulis adalah Mantan Ketum PD PII Kab Bandung periode 2003/2004. Kini, sedang menyelesaikan kuliah di jurusan Antropologi Unpad.

No comments:

 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com