Monday, April 23, 2007

Pluralisme

Merayakan Pluralisme Islam
Oleh Syafiq

Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik.

”… Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sejumlah sistem yang berkembang di kalangan mereka, seperti aspek sosial, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, politik, dan bahasa,” demikian Khalil Abdul Karim dalam sekapur sirih untuk karyanya Al-Judzur al-Tarrikhiyyah li al-Syari`ah al-Islamiyyah. Dalam karya bombastisnya itu, Khalil Abdul Karim menguak beberapa praktik ajaran Islam yang diadopsi dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Praktik poligami, penentuan seperlima dalam pembagian hasil rampasan perang, perbudakan, syura (musyawarah), kekhalifahan dan sebagainya bukan merupakan ajaran Islam yang pure dari langit. Dalam hal ini, Ali Abdul Raziq benar ketika mengatakan dalam bukunya Al-Islam wa Ushul al-Hukm bahwa kekhalifahan bukan merupakan ajaran Islam.

Bahkan, Khalil juga berkesimpulan bahwa sebagian praktik ritual dalam Islam merupakan kelanjutan belaka dari ritual masyarakat Arab yang berumur ribuan tahun. Ia mencontohkan tradisi pengagungan Ka`bah dan Tanah Suci Mekkah, prosesi Haji dan Umrah, sakralisasi bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram (al-Asyhur al-Hurum/ Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab), penghormatan kepada Ibrahim dan Ismail sehingga umat Islam disunahkan sembahyang dua rakaat di maqam Ibrahim tatkala menunaikan ibadah Haji, dan kebiasaan berkumpul pada hari Jumat untuk menunaikan salat Jumat.

Kenyataan ini tidak berarti Islam melulu bersifat lokalistik. Di dalam Islam juga terkandung nilai-nilai universalitas karena Islam meneguhkan dirinya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang bertujuan mencerahkan kegelapan umat manusia, bukan agama rahmatan lil ‘arabiyyin (membawa rahmat hanya untuk orang Arab). Karenanya, penerimaan Islam akan unsur-unsur budaya lokal tidak dilakukan secara mentah atau telanjang, melainkan mengadopsi dan memodifikasinya dalam semangat Islam. Virus paganisme yang bersarang dalam ritus-ritus lokal disapu-bersih dan unsur dehumanitas dalam tradisi masyarakatnya secara perlahan diamputasi. Lokalitas hanyalah kulit luar yang berfungsi sebagai pengemas universalitas yang merupakan inti ajaran Islam.
Apa yang disimpulkan Khalil dan juga Abdul Raziq menggambarkan bahwa Islam, meskipun ia agama langit, tidak ”malu-malu” menampilkan dirinya dalam wajah yang tidak lagi berkarakter langit, wajah yang tidak sepenuhnya memancarkan aura ilahi, tapi sarat muatan lokalistik-Arabistik. Arabisme Islam ini nampak dalam penggunaan bahasa Arab oleh al-Quran dan narasi al-Quran yang bercerita tentang kondisi soio-kultural masyarakat Arab.

Namun, Arabisme Islam merupakan konsekuensi logis semata karena Islam tidak turun dalam masyarakat yang hampa budaya, tidak juga di luar kawasan Arab, melainkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang kaya akan tradisi warisan leluhur. Sikap Islam yang sangat akomodatif terhadap panorama budaya lokal ini menyiratkan pesan bahwa Islam harus dibumikan dengan mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom).

Lokalitas merupakan suatu keniscayaan karena tanpanya, universalitas yang menjadi inti ajaran Islam tidak akan pernah punya arti apa-apa lantaran ia tidak membumi. Universalitas dan lokalitas ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lainnya tak bisa dipisahkan. Universalitas Islam mustahil dipahami di luar konteks lokalitas. Tentu, sejarah akan bercerita lain jika Islam mengabaikan aspek lokalitas Arab di era pertumbuhannya. Sejarah tidak akan pernah mengenang kebesaran Islam jika Alquran tidak menggunakan bahasa Arab atau tidak bertutur mengenai keadaan masyarakat Arab. Mungkin Islam akan dikenal sebagai pengisi cerita di waktu senggang dalam bentangan hikayat sejarah Arab.
Ketika Islam mendarat di Bumi Nusantara pada abad VII M dan mengalami pertumbuhan yang cukup serius sekitar abad XIV hingga menjadi agama mayoritas, kesuksesan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kecanggihan negosiasi budaya yang digerakkan oleh para penyebar Islam Nusantara. Drama penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo misalnya, prosesnya tidak dilakukan dengan memotong urat nadi tradisi masyarakat Jawa, sekalipun tradisi tersebut berbau animistik- Hinduistik. Tegasnya, cara-cara Wahabistik tidak dikenal dalam kamus penyebaran Islam Jawa.
Wali Songo tidak menghancurkan tembok kuburan, tidak pula menganjurkan rakyat Jawa untuk memakai gamis, memelihara jenggot atau mengenakan jilbab bagi perempuan Jawa. Tapi, Wali Songo malah mengarifi budaya lokal setempat dengan menjadikannya sebagai instrumen penyebaran Islam seperti dipraktikkan oleh Sunan Kali Jaga yang memanfaatkan wayang untuk menarik massa agar masuk Islam. Di luar Jawa, Islamisasi juga berlangsung dalam rel kearifan lokal sehingga Islam bisa diterima secara luas oleh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa disertai pertumpahan darah.
Kemunculan Islam dengan identitas keindonesiaan yang sangat berlainan dengan Islam Timur Tengah (baca: Arab) tentu merupakan fakta yang absah dan harus dipandang secara apresiatif sebagai sesuatu yang wajar, bukan hal yang menyimpang. Pluralisme dalam skala mikro seperti ditunjukkan oleh keberadaan Islam Kejawen, Islam Dayak, Islam Samin, Islam Sasak dan seterusnya yang dalam banyak segi berbeda haluan dengan Islam masa awal yang Arabsentris, tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang mengada-ada atau heuretik.

Dalam kerangka ini, gerakan puritanisasi yang digelar oleh sejumlah ormas Islam tentu merupakan aksi pengingkaran atas watak Islam yang pluralis. Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah sebuah ”teks” yang terbuka untuk selalu direproduksi sesuai horison pembaca. Umat Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya berada pada posisi sebagai pembaca ”teks Islam” sehingga memiliki otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan Islam masa awal atau corak Islam di kawasan dunia manapun. Umat Islam Indonesia berhak mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.

Kesulitan membedakan antara Islam dan Arabisme merupakan penyakit akut yang melanda kebanyakan umat Islam di dunia. Kegagalan memisahkan keduanya berimplikasi pada pemahaman bahwa Islam itu satu, yakni Islam Arab. Pluralisme Islam akan dipandang sebagai bid`ah. Kelekatan Islam dengan Arabisme ini telah berlangsung sedemikian jauh sehingga muncul pandangan bahwa kadar keislaman seseorang diukur dari seberapa kental nuansa Arabisme yang mewarnai perilaku keagamaannya. Berdoa dengan bahasa Arab dipandang lebih ”Islam” ketimbang menggunakan bahasa selain Arab (Ajam). Orang yang memakai gamis atau perempuan berjilbab akan dipandang sebagai seorang muslim sejati dibanding dengan yang lain.

Sepanjang kita gagal memisahkan antara Islam dan Arabisme, maka ada tiga hal yang muncul: Pertama, kegagalan menangkap pesan Islam yang sejati yang terkandung dalam aspek universalitasnya. Kedua, runtuhnya proyek pluralisme Islam, dan Ketiga, matahari peradaban Islam akan selalu terbit di dunia Arab karena dipandang sebagai representasi Islam yang paling absah. Usaha mengalihkan peradaban Islam dari tanah kelahirannya ke Tanah Air misalnya, hanyalah sebentuk angan-angan, meskipun potensi bangsa Indonesia untuk meneguhkan diri sebagai matahari peradaban Islam sangatlah memungkinkan karena ditunjang oleh watak Islam Indonesia yang –meminjam istilah Fazlur Rahman- lebih terbuka, demokratis dan egaliter dibanding Islam yang tumbuh di kawasan lain, serta didukung besarnya jumlah pemeluk agama Islam yang melampaui eskalasi umat Islam di penjuru dunia manapun.

Dus, Islam dan Arabisme harus dibedakan sehingga pluralisme Islam bisa dirayakan. Islam tidak pernah seragam. Ia beragam karena teramat akomodatif terhadap warna-warni budaya lokal sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah perkembangannya. Pluralisme Islam adalah keniscayaan karena Tuhan menghendaki demikian. []

*Penulis aktifis PII Jakarta dan Kuliah di Paramadina Mulya.

No comments:

 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com