Wednesday, February 28, 2007

Asaz Tunggal

Menyibak Pergulatan Azaz Tunggal di Tubuh PII

oleh Admin

Asas tunggal Pancasila tidak lagi menjadi soal. PII mendaftarkan diri kembali di Departemen Dalam Negeri.

Sekitar 250 mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia), yang rata-rata berusia setengah abad, berkumpul di Madrasah Tsanawiyah Negeri Desa Kanigoro, Kecamatan Keras, Kediri, Jawa Timur, 18-19 januari silam. Mereka menggelar reuni, sarasehan, sekaligus mengenang kembali Kanigoro Affair, yang terjadi 10 Ramadhan 32 tahun silam. Bendera hijau dan lambang-lambang PII pun kembali berkibar setelah cuti hampir 10 tahun.

Kanigoro Affair tercatat sebagai sebuah tonggak sejarah yang menandai munculnya gelombang amuk PKI dalam ikhtiarnya membungkam kekuatan nonkomunis. Program mental training yang diikuti 127 kader PII Jawa Timur, 9-17 januari 1965, di Kanigoro pun menjadi salah satu sasarannya. Massa PKI melabrak arena latihan kader-kader santri itu dan melakukan teror. Program organisasi PII itu pun terpaksa dihentikan pada 13 Januari (10 Ramadhan). Para peserta menyingkir.

Masduki Muslim, 55 tahun, ketua PII Kediri awal tahun 1960, mengaku telah lama merindukan reuni itu. “tapi kok ndak sempat-sempat,” kata Masduki, salah satu pemrakarsa pertemuan ini. Yang istimewa dalam acara tersebut, bendera dan simbol pii secara mencolok dikibarkan dan sejumlah pejabat hadir -di antaranya ialah Kepala Staf Kodam V Brawijaya Brigadir Jenderal Moechdi, Komandan Korem Surabaya Kolonel Syamsul Ma’arif, dan jajaran Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) Kabupaten Kediri.

Rupanya PII telah kembali menjadi anak « manis ». Organisasi pelajar islam ini telah mengubah anggaran dasarnya dengan mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri pada 9 Desember lalu,“ini melegakan. Semua peserta sarasehan menyambut gembira. Kami mengharap Pengurus Besar PII menindaklanjutinya agar PII kembali eksis,” kata Masduki.

Sebelas tahun lalu, PII adalah salah satu dari sejumlah organisasi berlabel Islam yang menolak pelaksanaan asas tunggal Pancasila yang diamanatkan Undang-Undang Keormasan 1985. Tapi satu demi satu organisasi-organisasi itu menerima asas tunggal, termasuk di antaranya Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), yang kendati alot akhirnya menyetujui UU Keormasan itu. PII terus bertahan. Sampai tenggat yang digariskan oleh Pemerintah, yakni akhir 1987, PII tetap enggan mengubah anggaran dasar dan rumah tangganya dengan mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Keruan saja organisasi pelajar islam itu terhapus dari daftar organisasi kemasyarakatan resmi di departemen dalam negeri. Tapi PII tak pernah bubar.

Tanpa status sebagai organisasi resmi, roda organisasi PII tentu tersendat. Kantor wilayah PII Jawa Timur di jalan Kupang Panjaan, Surabaya, tampak rombeng. Ketua PII Jawa Timur Mohammad Soddiq mengakui tak tahu jumlah anggotanya. Sejak terpilih maret tahun lalu, ia baru sempat menggelar satu kegiatan, yakni “latihan kepemimpinan” di Sumenep, Madura. Untuk kegiatannya, Soddiq merasa tak bisa meminta izin dari aparat keamanan. “Kami harus diam-diam, kadang nebeng kegiatan NU, Muhammadiyah, atau Al Irsyad,” kata mahasiswa fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam (FMIPA) ITS Surabaya itu. Jumlah cabang PII pun merosot. Sebelum 1987 ada 37 cabang PII di Jawa Timur. ‘’Kini cuma ada 20 buah, dan di situ yang aktif cuma pengurusnya,” kata Soddiq.

Suasana di kantor pengurus besar PII pun - yang menghuni satu ruang kusam 7 x 8 meter pada satu bangunan tua di jalan Menteng Raya, Jakarta - kurang lebih sama memprihatinkan. Dua buah komputer desktop generasi pertama menjadi satu-satunya barang berharga di kantor itu. Tapi ketua umum pengurus besar PII Abdul Hakam Naja, 30 tahun, kini tampak optimistis. “Kami kini sudah bisa berkiprah kembali,”katanya. Selama 10 tahun belakangan, menurut sarjana biologi kelautan lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu, PII tetap eksis kendati kiprahnya meredup. Bahkan sempat melakukan tiga kali muktamar. Pada muktamar di bogor 1994, PII memutuskan untuk menerima UU keormasan dan mendaftar ke Departemen Dalam Negeri.

Mengapa akhirnya PII menerima asas tunggal? dulu, 1987, memang tidak ada satu pendapat di antara kami. Ketika itu umat islam dalam keadaan yang kurang menguntungkan, kata Abdul Hakam. Setelah suasana yang tak menguntungkan itu dianggap berlalu, muktamar pii merasa tak perlu lagi merisaukan ketentuan tentang asas tunggal tersebut. Maka sebagai fungsionaris yang membawa amanat muktamar, Abdul Hakam melakukan konsolidasi kanan-kiri. Hasilnya, dukungan agar PII menerima asas tunggal. Walhasil, Abdul Hakam pun mendaftarkan PII ke Departemen Dalam Negeri, dan disambut dengan baik.

Sejak lahir hampir 50 tahun lalu, PII dikenal sebagai organisasi yang tertata baik. PII pula yang menjadi pemasok kader bagi abangnya, HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Sejumlah alumni PII pun tercatat menduduki posisi penting dalam masyarakat, di antaranya Tanri Abeng (eksekutif di grup Bakrie), Taufiq Ismail (penyair), dr. Imaduddin (tokoh ICMI), Mayor Jenderal Cholid Gozali (anggota fraksi ABRI di DPR-RI), dan Mayor Jenderal (purnawirawan) Z. A. Maulani, Alm. mantan Panglima Kodam Tanjungpura, mantan pengamat politik terkemuka.



Di kutip dari: Pth, genot widjoseno, dan saiful anam. Nomor 12/iii, 8 februari 1997

No comments:

 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com