Seentah Bisu, Entah Ke-3
Dirimu diam dihatiku, kau datang membawa seikat senyum, melintas bagai pesawat tempur. Sekejap melesat seperti rajawali mencakar langit, disaat jingga melempar keganasan sore yang siap menerkam pengemis gila digurun pasir tanpa setetes air atau lemparan bunga, walau layu, dia terkapar lebar pasrah, menunggu orang murah hati menyapa membawanya kejauh pohon rindang. Bangkitkan lelah dari riuh gemuruh angin yang menyakiti luka-luka nyeri dipersimpangan, disisi senyummu menabur sekejap perih harapan, seperti diriku diremang-remang lampu, dihulu magrib menunggu sesosok dirimu, dibawah tiang tanpa dilengkapi bendera seperti aku bisu tak bersama rayu senyummu.
Sepi dengan sebatang roko, segelas kopi, yang tetap setia mengakrabi khayal liar sampai bulan, serata langit, seretak tanah bergurat, bersama sejuta bintang menertawakan aku yang bisu. Tak apalah, hanya ini yang bisa aku lakukan, menunggu seperti tugu di perbatasan dua pulau dengan remang-remang lampu, dengan serumit permasalahan setumpuk keretas yang berbeda, walau berdampingan hanya tembok pembatas menjadi tirai perasaan,kita berdekatan. Hanya segaris batas memisahkan, suasana, pesona, irama daung anginnya berbeda, seperti aku, kamu, mereka, berdekat akrab melekat pada serpihan-serpihan detik, waktu, hari, siang, malam, berenang pada lengketnya resah, menggauli gundah dengan percikan-percikan airmata seperti hujan setelah magrib seperti yang aku menanti, dirimu.
Hanya dengan itu aku mencoba meyakinkan kau yang jauh disana, tahukah kau, kesalnya dada ini, seperti kambing dikandangi, tak bisa melakukan apa-apa. hanya bisa meneriaki jeritan setia dalam kerangkeng kayu-kayu yang dipaku kuat. Walau berusaha mendobrak dengan sepasang tanduk meraduk, menubruk. Tetap, hanya melahirkan sepasang tarian-tarian kalap melelap, melahap. Sama sepertiku, ditali dengan bayang, khayal, mengikat kuat sampai teriak tak lagi mengeluarkan bunyi tangis; saking lelah merayap meyakinkan kamu dalam kukuh, jari jemari yang mengetuk-ngetuk bata hatiku dengan melantunkan nada-nada perih, mengeong-ngeong dengan sepatah kalimat yang gugup melahirkan cemas pada kubangan talu, menjadi hulu menderu, menyiku, dahsyat menatapi dirimu.
Tatapan itu tatapan dirimu. Aku, yang terlalu pagi menjemput hangatnya matahari dengan burung-burung melantun siul dan nyanyian, tarian-tarian kepakan sayap berdansa, menjemput waktu-waktu kelabu, menggulung hitam apa? lalu menyusun entah disimpang-simpang, disudut-sudut, aku terpojok dilubang kecil, dengan mungkin, aku tetap terus merayap, berjalan tak peduli duri-duri, menemu siang membakar kulit menghitam, gersang atau disambut mendung, sembari menetaskan percikan-percikan air hujan membesar membasah kuyupkan sekujur tubuh. Mendingin, tak bisa berlari cepat merapat pada rindangnya pohon cintamu.
‘Kau, Ayat-Ayat Perindu”
Sesosok dirimu menjadi paragrap
Menjadi rima dalam puisi
Kutafsir bagai ayat- ayat mati
Menjadi hadis penerjemah wahyu
Langkahmu menjadi artefak-artefak
Kugali, kujengkali
Seraya berusaha meyakinkan pada naluri
Bahwa aku _______
Kini aku menjadi nabi bagimu
Memuja dengan hasrat
Berdoa dalam bisu untuk segurat senyum
Taukah kau, pujaku!
Kini___
Seurai rambutmu, sekedip matamu, selebat bulu alismu, sepikuk hidungmu, segurat tebing wajahmu, sepeka telingamu. Semua, seonggok daging bersosok dirimu,
Dan wahyu bagi seorang gembel
Ayat-ayat dirimu kuhapal, ku-kumpulkan,
Kubaca, agar tak lupa
Dan, akan kuberi tahu pada dunia semampu aku punya
Bahwa, aku menyukaimu!
Jauh dari yang kau tahu
Agar aku, kau, abadi
Dalam tulis yang tak rapi
seliar kau memilih pendamping hati.
Disini beku, bagai dalam cerita nabi Ibrahim dibakar tumpukan api. Aku pun sama seperti dia yang akan tetap teguh kokoh dengan tulus, walau dibakar rayu-rayu para bidadari yang menggiurkan para jahanam, bersama doa-doa dan sepercik iman yang masih tersisa, aku tetap berusaha teguh berkiblat mengimani cintamu
Disimpang Jalan Bisu
Siang menatah resah
Matahari menggantung diharapan semu
Kuukir hari dengan tinta air mata
Daki semakin pekat dikulit coklat
Lamun bergoyang
Menghantam pilu, nyeri di urat nadi
Diam kupaku kecewa
Di iringan sesak detik kejamnya iri
Sumpah serapah tak lagi dibaca
Doa tak lagi menjadi wewangi bunga
Dedaun terus tumbuh dalam putaran cuaca
Cakrawala menjadi tangis kerapuhan
Dada menjadi lautan pasir sesal
Hati menjadi sejarah hitam yang terlupakan
Langkah tinggal lelah dipersimpangan
Mulut hanya menjadi bungkusan kosong
Pada untaian jingga dilangit harap
Mengendap seluruh rasa asa
Dipalung hening kelam dalam bingung
Aku menjadi diriku!
Namun akhirnya resah dan entah.
No comments:
Post a Comment