Wednesday, February 28, 2007

Tafsir Cinta (3)

Seentah Bisu, Entah Ke-3

Dirimu diam dihatiku, kau datang membawa seikat senyum, melintas bagai pesawat tempur. Sekejap melesat seperti rajawali mencakar langit, disaat jingga melempar keganasan sore yang siap menerkam pengemis gila digurun pasir tanpa setetes air atau lemparan bunga, walau layu, dia terkapar lebar pasrah, menunggu orang murah hati menyapa membawanya kejauh pohon rindang. Bangkitkan lelah dari riuh gemuruh angin yang menyakiti luka-luka nyeri dipersimpangan, disisi senyummu menabur sekejap perih harapan, seperti diriku diremang-remang lampu, dihulu magrib menunggu sesosok dirimu, dibawah tiang tanpa dilengkapi bendera seperti aku bisu tak bersama rayu senyummu.

Sepi dengan sebatang roko, segelas kopi, yang tetap setia mengakrabi khayal liar sampai bulan, serata langit, seretak tanah bergurat, bersama sejuta bintang menertawakan aku yang bisu. Tak apalah, hanya ini yang bisa aku lakukan, menunggu seperti tugu di perbatasan dua pulau dengan remang-remang lampu, dengan serumit permasalahan setumpuk keretas yang berbeda, walau berdampingan hanya tembok pembatas menjadi tirai perasaan,kita berdekatan. Hanya segaris batas memisahkan, suasana, pesona, irama daung anginnya berbeda, seperti aku, kamu, mereka, berdekat akrab melekat pada serpihan-serpihan detik, waktu, hari, siang, malam, berenang pada lengketnya resah, menggauli gundah dengan percikan-percikan airmata seperti hujan setelah magrib seperti yang aku menanti, dirimu.

Hanya dengan itu aku mencoba meyakinkan kau yang jauh disana, tahukah kau, kesalnya dada ini, seperti kambing dikandangi, tak bisa melakukan apa-apa. hanya bisa meneriaki jeritan setia dalam kerangkeng kayu-kayu yang dipaku kuat. Walau berusaha mendobrak dengan sepasang tanduk meraduk, menubruk. Tetap, hanya melahirkan sepasang tarian-tarian kalap melelap, melahap. Sama sepertiku, ditali dengan bayang, khayal, mengikat kuat sampai teriak tak lagi mengeluarkan bunyi tangis; saking lelah merayap meyakinkan kamu dalam kukuh, jari jemari yang mengetuk-ngetuk bata hatiku dengan melantunkan nada-nada perih, mengeong-ngeong dengan sepatah kalimat yang gugup melahirkan cemas pada kubangan talu, menjadi hulu menderu, menyiku, dahsyat menatapi dirimu.

Tatapan itu tatapan dirimu. Aku, yang terlalu pagi menjemput hangatnya matahari dengan burung-burung melantun siul dan nyanyian, tarian-tarian kepakan sayap berdansa, menjemput waktu-waktu kelabu, menggulung hitam apa? lalu menyusun entah disimpang-simpang, disudut-sudut, aku terpojok dilubang kecil, dengan mungkin, aku tetap terus merayap, berjalan tak peduli duri-duri, menemu siang membakar kulit menghitam, gersang atau disambut mendung, sembari menetaskan percikan-percikan air hujan membesar membasah kuyupkan sekujur tubuh. Mendingin, tak bisa berlari cepat merapat pada rindangnya pohon cintamu.

‘Kau, Ayat-Ayat Perindu

Sesosok dirimu menjadi paragrap

Menjadi rima dalam puisi

Kutafsir bagai ayat- ayat mati

Menjadi hadis penerjemah wahyu

Langkahmu menjadi artefak-artefak

Kugali, kujengkali

Seraya berusaha meyakinkan pada naluri

Bahwa aku _______

Kini aku menjadi nabi bagimu

Memuja dengan hasrat

Berdoa dalam bisu untuk segurat senyum

Taukah kau, pujaku!

Kini___

Seurai rambutmu, sekedip matamu, selebat bulu alismu, sepikuk hidungmu, segurat tebing wajahmu, sepeka telingamu. Semua, seonggok daging bersosok dirimu,

Dan wahyu bagi seorang gembel

Ayat-ayat dirimu kuhapal, ku-kumpulkan,

Kubaca, agar tak lupa

Dan, akan kuberi tahu pada dunia semampu aku punya

Bahwa, aku menyukaimu!

Jauh dari yang kau tahu

Agar aku, kau, abadi

Dalam tulis yang tak rapi

seliar kau memilih pendamping hati.

Disini beku, bagai dalam cerita nabi Ibrahim dibakar tumpukan api. Aku pun sama seperti dia yang akan tetap teguh kokoh dengan tulus, walau dibakar rayu-rayu para bidadari yang menggiurkan para jahanam, bersama doa-doa dan sepercik iman yang masih tersisa, aku tetap berusaha teguh berkiblat mengimani cintamu

Disimpang Jalan Bisu

Siang menatah resah

Matahari menggantung diharapan semu

Kuukir hari dengan tinta air mata

Daki semakin pekat dikulit coklat

Lamun bergoyang

Menghantam pilu, nyeri di urat nadi

Diam kupaku kecewa

Di iringan sesak detik kejamnya iri

Sumpah serapah tak lagi dibaca

Doa tak lagi menjadi wewangi bunga

Dedaun terus tumbuh dalam putaran cuaca

Cakrawala menjadi tangis kerapuhan

Dada menjadi lautan pasir sesal

Hati menjadi sejarah hitam yang terlupakan

Langkah tinggal lelah dipersimpangan

Mulut hanya menjadi bungkusan kosong

Pada untaian jingga dilangit harap

Mengendap seluruh rasa asa

Dipalung hening kelam dalam bingung

Aku menjadi diriku!

Namun akhirnya resah dan entah.

(03 Desember 2006)

No comments:

 
@Copyright © 2007 `Anu Sok Ngoprek` PKPII Design by Boelldzh
sported by PKPII (Paguyuban Kader Pelajar Islam Indonesia) Bandung Raya
email; ekspiibdg[ET]gmail[DOT]com